Jumat, 23 November 2012

JESUS IS MY KING


Hari Minggu Biasa XXXIV, Minggu 25 November 2012
Bacaan: Daniel 7:13-14, Wahyu 1:5-8, Yohanes 8:33b-37


       
           Apa yang kita bayangkan tentang seorang raja? Kalau melihat dalam film-film, raja pasti lelaki yang gagah dan hebat. Berpakaian bagus, suaranya berwibawa, punya pengawal dan pasukan bersenjata, memiliki istana yang megah dan tentu saja dihormati dan disegani oleh bangsanya. Kalau dalam kehidupan kita sekarang gambaran seorang raja bisa kita lihat pada diri pemimpin negara atau pemimpin daerah lainnya, juga pemimpin-pemimpin apa saja yang mengepalai banyak orang. Tak sedikit dari mereka adalah pemimpin yang keras dan penindas, juga licik dan koruptif. Nah Kalau Yesus yang jadi seorang Raja, bagaimana nih gambarannya? Injil Yohanes kali ini memberikan kesaksian tentang Yesus sebagai seorang Raja.
            Dalam kisah injil hari ini terjadi dialog antara Pilatus dan Yesus dalam istana. Sementara di luar, orang-orang Yahudi ramai-ramai berteriak dan menuntut supaya Yesus disalibkan. Yesus dituntut bersalah karena menyebut dirinya Raja (ay. 37). Tapi jelas bagi kita bahwa Yesus adalah raja yang berbeda dari pemimpin-pemimpin dunia pada umumnya. Yesus ditolak oleh bangsaNya sendiri, bahkan dituntut untuk disalibkan. Yesus juga tidak punya pasukan yang dapat membantu membela DIA saat itu.
            Lalu Raja seperti apa Yesus ini? dan Kerajaan seperti apa yang DIA miliki? Kepada Pilatus (ay. 36) Yesus menegaskan bahwa KerajaanNya bukan dari dunia ini. Maksudnya bahwa Yesus tidak menjadi Raja dengan cara-cara politik seperti yang terjadi dalam kehidupan kita. Kerajaan Yesus juga bukan seperti pemerintahan negara atau daerah sekarang ini. Yesus meraja di dalam dunia kita dengan cara yang lain sama sekali.
            Yesus sebagai Raja tidak datang dari dunia kita, tapi datang dari Allah (ay. 37). Yesus datang ke dalam dunia sebagai Raja untuk bersaksi tentang kebenaran dan “…setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu”, demikian kata Yesus kepada Pilatus. Dan persis di situ, Yesuslah yang justru sedang mengadili Pilatus. Yesus menguji Pilatus apakah dia termasuk orang yang berasal dari Allah karena menerima kesaksian Yesus atau sebaliknya? Dan ternyata kita mendapati bahwa Pilatus menghindar untuk memberi jawaban YA pada pertanyaan Yesus. Pilatus pura-pura balik bertanya “Apakah kebenaran itu?” (ay. 38) untuk menghindar dari Yesus. Pilatus memang tidak menemukan kesalahan pada Yesus. Ia memandang Yesus sebagai orang benar, tapi pada saat yang sama Ia tidak berani mengungkapkan iman dan kepercayaannya pada Yesus. Pilatus takut dan memilih bersikap mendua. Inilah kegagalan Pilatus untuk menerima Yesus sebagai Raja.
            Dialog Yesus dan Pilatus mengajak kita untuk memahami Yesus sebagai Raja yang datang dari Allah, bukan raja seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai Raja Yesus datang memberi kesaksian tentang kebenaran: Allah Bapa mengasihi kita dan menghendaki kita selamat melalui Yesus Kristus PuteraNya. Maka selanjutnya, Yesus mengundang kita untuk sungguh-sungguh PERCAYA pada kesaksian Yesus ini, Percaya dan melakukan kehendakNya.
            Percaya dan menerima Yesus sebagai Raja sama artinya membiarkan diri kita dikuasai dan digerakkan oleh perintah dan kehendakNya. Hanya dengan begitu, Yesus sungguh-sungguh menjadi OUR KING!! Tantangan kita adalah sikap mendua Pilatus. Mungkin kita kerap memilih sebagai orang-orang netral saja. Kita menganggap Yesus sebagai orang baik dan tak bersalah, tetapi kita enggan percaya pada sabda dan perintahNya. Kita menyebut diri pengikut Kristus, tapi cukup takut hidup seperti Kristus. Percaya pada Yesus memang selalu menuntut kesiapan untuk "sering sakit-terluka". Tapi seperti kata St. Montfort: “Jika kita tidak berani mengambil risiko, kita tidak akan melakukan hal besar untuk Tuhan.” Sebab hanya kepada mereka yang menerima DIAlah, Yesus menyebutnya: berasal dari Allah. Deo Soli, Hanya Tuhan!
 Fr. Charles, SMM


Jumat, 16 November 2012

ORANG-ORANG PILIHAN


Hari Minggu Biasa XXXIII, Minggu 18 November 2012
Bacaan: Daniel 12:1-3, Ibrani 10:11-14, Markus 13:24-32


Banyak dari kita pasti pernah melihat film berjudul 2012. Isi utamanya, menggambarkan terjadinya hari kiamat, akhir kehidupan di dunia ini. Dalam film ini diperlihatkan tanda-tanda yang menyertai akhir dunia, misalnya seluruh kota Los Angeles runtuh dan tenggelam ke Samudra Pasifik, gunung api meletus, Washington DC diserbu tsunami dan menewaskan ribuan orang. Maka sebagian orang mulai merasa takut dan gelisah karena gambaran hari kiamat yang seperti itu. Padahal sebagai sebuah film, kisahnya belum benar-benar terjadi. Terus kenapa kita harus merasa takut atau gelisah? Atau reaksi sebaliknya, peduli amat dengan kiamat, toh itu belum pasti terjadi.
Namun tidak sedikit kelompok orang di beberapa daerah, yang membuat perhitungan tentang tahun, tanggal bahkan jam hari kiamat itu datang. Ketika saat itu tiba, mereka berkumpul di sebuah rumah dan berharap akan diselamatkan. Tapi nyatanya sampai sekarang kiamatnya tak datang-datang, juga tak seorang pun dari kita tahu kapan ia datang. Terus apa pentingnya nih bicara tentang kiamat? Apa benar kiamat akan tiba suatu saat? Nah persis pada kesempatan kali ini, Sabda Tuhan bicara pada kita mengenai hari kiamat atau akhir zaman itu.
Kepada para muridNya, Yesus berbicara mengenai tanda-tanda yang terjadi saat kiamat mendekat. Matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa langit akan goncang (ay 24-25).  Tanda lain dapat kita temukan dalam kitab Wahyu di mana Kota Yerusalem Baru akan penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal (Why 21:11). Tanda-tanda itu memang hanyalah gambaran situasi akhir zaman, bagaimana persisnya tak seorangpun tahu, karna toh akhir zaman belum pernah terjadi. Yang pasti bahwa dunia akan dibarui.
Tapi apa persisnya yang dimaksudkan Yesus dengan akhir zaman atau kiamat? Pada ayat 26 Yesus berkata bahwa pada waktu (akhir zaman) itu “… orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya.” Jadi akhir zaman tidak lain adalah peristiwa kedatangan Anak Manusia yakni KEDATANGAN TUHAN itu sendiri. Kalau dulu Tuhan datang ke dunia untuk menebus dosa manusia, maka pada akhir zaman nanti Tuhan datang lagi tetapi untuk MENGUMPULKAN ORANG-ORANG PILIHANNYA (ay. 27). Ya, Tuhan akan menyuruh malaikat-malaikatNya mengumpulkan semua umatNya yang tercerai-berai, dari segala daerah, dan MENYELAMATKAN mereka. Dengan kata lain, akhir zaman adalah hari di mana Tuhan datang untuk memilih sendiri serta menyelamatkan Orang-Orang PilihanNya saja. Siapa itu orang-orang pilihanNya? Tentu saja setiap orang yang percaya pada Tuhan dan hidup sesuai dengan imannya itu.
Para saudara, bukankah akhir zaman yang disampaikan Yesus ini merupakan KABAR GEMBIRA bagi kita orang yang percaya padaNya? Bukankah yang ada pada kita setelah mendengar perkataan Yesus tadi adalah kegembiraan sekaligus harapan bahwa pada saatnya nanti, setiap kita akan dipilih dan diselamatkan Tuhan? Kita mungkin takut terhadap gambaran akhir zaman yang lebih menyerupai gempa bumi itu. Kita mungkin takut ikut mati tiba-tiba dengan cara mengerikan seperti yang sering disampaikan dalam film atau buku tertentu. Tapi sabda Yesus tentu menggembirakan dan menghibur kita: Ia akan Datang dan Menyelamatkan kita. Kapan waktunya, tak seorang pun tahu (ay. 32). Yang pasti, perjuangan hidup, ketekunan iman dan perbuatan baik kita selama hidup tidak akan berakhir sia-sia. Tuhan memperhitungkannya sebagai jaminan untuk kelak boleh hidup bersatu bersama DIA.
Oleh karena itu, pesan Yesus hari ini tidak lain supaya kita PERCAYA akan KEDATANGANNYA pada akhir zaman. Kita yang PERCAYA tidak akan membuat hidup kita berjalan begitu saja. Kita yang PERCAYA akan mengusahakan sebuah hidup yang berkualitas yakni HIDUP sebagai ORANG-ORANG PILIHAN TUHAN. Apakah selama ini kita sudah cukup menjalankan hidup sebagai orang-orang pilihan Tuhan? Apa saja yang sudah dan mau kita perjuangkan selama masih di dunia ini?
Kematian memang berlaku sama untuk setiap manusia. Namun cara kita mengisi hidup sebelum kematian itulah yang memberi perbedaan. Kita yang percaya pada Tuhan akan menjalani hidup sebagai Persiapan untuk Kehidupan Kekal. “Sebab siapa yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan sorak-sorai.” Arahkanlah hati, pikiran, dan sikap sesuai kehendak Allah. Hiduplah sebagai orang-orang pilihanNya. Deo Soli, Hanya Tuhan!

Fr. Diaz SMM & Fr. Charles SMM



Jumat, 09 November 2012

MEMBERI LEBIH BANYAK


Minggu Biasa XXXII, 11 November 2012
Bacaan: 1Raj. 17:10-16, Ibrani 9:24-28, Markus 12:38-44



            Dalam hidup menggereja ada macam-macam tugas. Dan setiap kita memiliki peran, bukan? Entah sebagai imam atau umat, mudika atau REKAT, seksi ini dan itu. Belum lagi di lingkungan tempat kita tinggal atau dalam kelompok kerasulan yang kita ikuti. Dengan peran-peran itu, kita pasti  rindu untuk semakin melayani dan memberi diri bagi Tuhan. Nah persis pada hari ini, Tuhan Yesus datang berbicara kepada kita mengenai pemberian diri ini.
            Ada dua kisah berbeda yang disajikan pada kita. Kisah pertama, Yesus memberi peringatan mengenai keburukan para ahli Taurat (ay. 38-40). Dalam kehidupan keagamaan orang Yahudi, para ahli Taurat memiliki peran penting. Mereka adalah guru agama dan penasihat hukum. Tapi tentang mereka ini, Yesus justru memberi peringatan: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat…” karena rupanya mereka tidak menjalankan perannya dengan sikap hati dan tindakan yang sesuai. Dengan jubah panjang pakaian kebesarannya, para ahli Taurat berjalan di Pasar dengan harapan mendapat salam hormat dari orang-orang. Begitu pula kalau ke rumah ibadat atau tempat pesta, mereka selalu mau duduk di depan karena menganggap diri sebagai orang penting, lebih tinggi dari yang lain. Mereka memang suka memberi bantuan hukum bagi para janda.  Tapi parahnya, mereka justru meminta imbalan padahal janda adalah kelompok orang lemah dan miskin. Dan lagi, mereka suka berdoa panjang-panjang dengan maksud pamer diri, supaya dipuji.
Inilah daftar keburukan para ahli Taurat yang dikritik Yesus. Yesus tidak mempermasalahkan peran mereka tapi sikap hati dan motivasi di baliknya. Para ahli Taurat ini dengan sengaja mencari penghormatan dan penghargaan untuk diri mereka sendiri. Bahkan menyalahgunakan peran untuk mendapat keuntungan pribadi. Makanya di akhir, Yesus berkata: “Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat." Sampai di sini, masing-masing kita bisa bertanya diri: Bagaimana sikap hati saya ketika melayani di Gereja? Apa motivasi saya mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan atau di kelompok kerasulan?
            Kisah kedua, Yesus berbicara mengenai persembahan uang. Ia melihat banyak orang memberi derma dalam jumlah banyak. Sementara satu orang janda memberi derma hanya dua peser. Satu peser itu mata uang terkecil di Palestina. Kalau sekarang sama nilainya dengan 100 rupiah. Dua peser berarti 200 rupiah. Nah kepada para murid Yesus berkata bahwa Janda ini memberi lebih banyak daripada semua orang karena janda itu memberi seluruh nafkahnya. Rupanya 200 rupiah tadi adalah jumlah seluruh pendapatan si janda dalam sehari. Tentu saja “memberi lebih banyak” tidak dalam arti jumlah uang karena 200 rupiah jumlahnya sangat kecil dibanding pemberian banyak orang. Si Janda “memberi lebih banyak” sebagai derma bagi Tuhan karena ia memberikan seluruh nafkahnya. Itu sama artinya memberi apa yang dibutuhkannnya untuk hidup pada hari itu. Dengan begitu, si Janda memasrahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan.
Dalam cerita ini, Yesus sebetulnya tidak mempermasalahkan berapa besar jumlah derma. Dia sedang mengingatkan soal sikap hati dan motivasi kita memberi persembahan. Orang yang memberi banyak bisa saja  mengganggap derma mereka paling berharga karena jumlahnya paling besar. Tapi dengan contoh janda miskin, Yesus menyatakan bahwa yang terpenting bukan berapa jumlahnya tapi bagaimana itu diberi. Berapapun jumlah derma kita, Yesus meminta sebuah persembahan diri yang total seperti halnya persembahan seluruh nafkah si Janda. Sebab persembahan diri yang total adalah ungkapan iman kita yang paling mendalam kepada Tuhan.
Para saudara terkasih, kita bisa melayani Tuhan dengan cara apapun. Dengan peran-peran kita atau dengan derma-derma kita. Satu hal yang Yesus minta pada kita, milikilah sikap hati yang mau menyerahkan seluruh diri kepada Tuhan. Inilah sikap iman kita. Kalau kita sungguh percaya pada Tuhan, kita hanya punya satu kerinduan: semakin menjadikan hidup kita persembahan bagi Kemuliaan Tuhan. Karena itu, kita tidak mencari penghormatan atau penghargaan. Kita semata-mata mau memberi lebih banyak bagi Tuhan, yakni memberi seluruh hidup kita sendiri. Selamat Memberi, Tuhan menyanggupkan kita. Deo Soli, Hanya Tuhan!

Fr. Charles, SMM


              

Jumat, 02 November 2012

PRIORITAS


Hari Minggu Biasa XXXI, 4 November 2012
Bacaan: Ulangan 6:2-6, Ibrani 7:23-28, Markus 12:28b-34


         Kita sedang hidup dengan dikelilingi oleh banyak sekali peraturan. Peraturan Pemerintah dan Gereja, Peraturan dalam Keluarga dan tempat kerja, juga peraturan-peraturan kecil yang kita buat untuk hidup kita sendiri. Peraturan itu erat kaitannya dengan nilai atau harapan yang mau kita perjuangkan dalam hidup kita, bukan? Ya, keberhasilan, kesejahteraan, kebahagiaan, kekayaan, prestasi dan sebagainya. Dengan semuanya itu, pernahkah kita bertanya, “Apa sih yang paling perlu saya kejar untuk hidup saya?” “Apa yang mau saya perjuangkan sebagai murid Kristus? Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus memberikan jawaban atas pertanyaan itu.  
            Dikisahkan oleh Penginjil Markus, seorang ahli Taurat datang pada Yesus dan bertanya: “Perintah manakah yang paling utama?”. Ahli Taurat ini sedang bingung rupanya. Soalnya dalam kitab Taurat Musa yang dipelajarinya, terdapat 613 perintah. Belum lagi ada sekian ratus perintah tambahan yang diturunkan dari 613 perintah pokok tadi. Si ahli Taurat tentu bingung: Peraturan mana nih yang paling utama dan penting di antara sekian banyak peraturan yang ada dalam Taurat? Terhadap pertanyaan itu Yesus memberi jawaban: kasihilah Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu (lihat ayat 30-31). Namun ada hal penting yang dikatakan Yesus sebelum menyebut kedua perintah utama itu, yakni: “Dengarlah… Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa” (ayat 29). Yesus tidak langsung menyampaikan tentang cinta kasih sebagai hukum terutama. Tapi Yesus terlebih dahulu mengajak untuk mengakui iman bahwa Tuhan kita itu Esa. Apa maksud Yesus di sini? Yesus hendak mengingatkan bahwa tanpa Iman akan Allah, kita tidak bisa berbuat kasih. Perbuatan cinta kasih mengisyaratkan adanya pengakuan Iman kepada Allah yang Satu. Pengakuan Iman ini datang dari pengalaman perjumpaan kita sendiri dengan Allah yang mengasihi. Yah, Allah yang lebih dahulu mengasihi kita. Sama seperti seorang anak yang bisa mengasihi Ayahnya setelah mengalami kasih Ayahnya. Maka perbuatan cinta kasih kita pertama-tama merupakan tanggapan kita akan tindakan Allah yang lebih dahulu mengasihi kita. Nah, apakah kita sudah mengalami kasih Allah dalam hidup kita?
            Baru setelah itu, sebagai tanggapan atas tindakan cinta Allah, Yesus meminta kita untuk juga mau melaksanakan kedua perintah utama, mencintai  Allah dan sesama. Inilah perintah paling pokok. Kata “cinta” mungkin sudah terlalu biasa kita dengar, sudah lazim kita pakai dan karena itu kerapkali kita bosan mendengarnya. Tapi Yesus toh tetap saja meminta kita berbuat cinta kasih. Sebab cinta kasih yang diajarkan Yesus memang berbeda kualitasnya dengan kata-kata cinta  yang kerap kita dengar atau pakai. Yesus menggunakan kata cinta (agapao) yang berarti mengutamakan, memilih lebih daripada…, memberikan diri sepenuhnya kepada… Dengan kata lain, bila Yesus memerintahkan supaya kita mencintai Tuhan, itu berarti “Kita mengutamakan Tuhan, memilih Tuhan lebih daripada hal-hal lain, juga memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan”, sebab kita sudah lebih dahulu dikasihi Tuhan dengan tanpa syarat. Kita memberi Tuhan tempat utama dalam hidup kita. Kata ‘cinta’ (agapao) yang dipakai Yesus ini, beda dengan kata cinta eros (erao) yang berarti cinta untuk kenikmatan belaka.
            Demikian pula dengan perintah utama kedua, mencintai sesama. “Mencintai sesama” berarti mengungkapkan cinta kita tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mengasihi kita saja. Lebih dari itu, cinta kita diarahkan untuk siapa saja. Tanpa pamrih, tanpa imbalan, tak peduli apakah mereka mengasihi kita atau tidak. Sebab dasar atau alasan perbuatan kasih kita pertama-tama adalah karena Allahlah yang sudah mengasihi kita terlebih dahulu. Betapa kita telah mengalami kasih Allah yang nyata dalam hidup kita sendiri dan karena itu, kita ingin membaginya juga kepada siapa saja.
            Perlu kita ingat di sini bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama bukan dua hal yang sama. Kalau menganggapnya sama, kita barangkali mudah mengatakan: “dengan mengasihi sesama, kita sudah mengasihi Allah.” Sama seperti orang-orang yang merasa sudah cukup dengan buat baik saja, tak harus beriman pada Tuhan. Tidak demikian maksudnya. Yesus menempatkan kedua perintah itu sama-sama sebagai perintah utama. Maka kita mengasihi Tuhan sekaligus juga menyatakan kasih itu dengan cinta pada sesama.
            Pesan Yesus kali ini kiranya jelas bagi kita bahwa nilai pokok atau tindakan utama yang menjadi prioritas hidup kita adalah terus mencintai Tuhan dan tak berhenti mencintai sesama. Perintah ini sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan hidup kita untuk mengejar keberhasilan, mencari uang dan harta, memperjuangkan gelar sarjana, mengusahakan kebahagiaan hidup, kesejahteraan keluarga dan sebagainya. Sebaliknya semua perjuangan kita mesti diresapi dan dihidupkan oleh cinta kasih. Sebab tak jarang, saking berfokusnya kita pada keberhasilan, kesejahteraan atau kesuksesan, kita mudah mengabaikan tanggung jawab untuk memberi tempat bagi Tuhan, memberi ruang untuk berbagi dengan sesama.
Cinta bukan kata, tapi tindakan. Cinta bukan tulisan, tapi api. Api yang membakar seluruh hidup kita untuk tak lelah berbuat kasih. Api yang telah lebih dahulu dinyalakan oleh kasih Allah yang selalu. Selamat menyatakan kasih. Deo Soli.   
             
Fr. Charles, SMM