Jumat, 13 Desember 2013

Adven: Menjadi Kendaraan Harapan

Minggu Adven III, 15 Desember 2013
Injil Matius 11:2-11

                Penampilan membingungkan dari Yohanes Pembaptis. Kalau minggu lalu, dengan penuh keyakinan sebagai seorang nabi yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Yesus, Ia berseru-seru: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Tidak bisa lain, Yohanes pastilah orang yang (kita anggap) sudah tahu baik siapa Yesus dan percaya sungguh kepada Yesus. Tetapi kali ini, Ia tampil sebagai orang ragu. Dari dalam penjara, Ia sebetulnya sudah mendengar tentang pekerjaan Kristus. Tapi karena kurang percaya, Ia malah mengutus murid-muridnya untuk bertanya langsung pada Yesus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Atau dengan rumusan lain, “Yesus, apa benar kamu itu Mesias (Pembebas) yang kami nantikan atau bukan?” Rupanya Yohanes yang mulai ragu itu meminta supaya Yesus sendiri ngaku kalau Dia memang Mesias. Pengakuan mulut Yesus itu yang Ia butuhkan supaya bisa kembali percaya.
            Tanggapan elegan Yesus. Yesus sama sekali tidak memberikan jawaban langsung. Ia justru meminta Yohanes menilai sendiri berdasarkan apa yang didengar dan dilihat oleh utusan Yohanes saat itu. Apa itu? Pekerjaan-pekerjaan Yesus: orang buta dibuatNya melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, yang tuli mendengar, yang mati dibangkitkan dan yang miskin diberikan kabar baik. Yesus menutup tanggapannya dengan berkata: “Berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.” Yohanes pun berbahagia, kalau ia menerima Yesus, percaya kepada Yesus, bukan berdasarkan pengakuan mulut Yesus melainkan pekerjaan-pekerjaan belas kasih yang dikerjakan Yesus. Pekerjaan-pekerjaan itulah tanda paling nyata kemesiasan Yesus.
Letak Persoalan. Mengapa Yohanes Pembaptis, Nabi yang sebelumnya percaya kepada Yesus, kini menjadi ragu? Hemat saya, justru karena Yohanes belum mengalami sendiri secara pribadi kuasa Yesus sebagai Mesias. Situasinya sedang buruk. Yohanes sedang ditahan di penjara. Ia tentu berkerinduan supaya Yesus tampil sebagai Mesias berkuasa yang sanggup mengalahkan kekuasaan sipil yang menindas saat itu, membebaskannya dari hukuman penjara. Tetapi itu tidak terjadi. Yesus bukan mesias politis. Ia datang untuk membebaskan manusia melalui pekerjaan-pekerjaan belas kasih tadi. Bukan dengan kekuatan dan kekuasaan duniawi. Pantas saja Yohanes ragu, bahkan mungkin kecewa karena gambarannya tentang Yesus jauh berbeda. Yesus bukan panglima militer berpelengkapkan senjata dan pasukan. Yesus adalah nabi yang membawa harapan kepada orang sakit di jalan-jalan berdebu.
            Bagaimana Pengalaman kita? Yesus menyatakan diri sebagai mesias (penyelamat-pembebas) bukan melalui kekuasaan politis, tetapi tindakan pelayanan penuh belas kasih. Tindakan-tindakan ini kerap terjadi secara sederhana dalam kehidupan kita. Keramahan, kegembiraan, senyuman, tawa, belas kasih, damai dan penghiburan adalah bentuk-bentuk sederhana tindakan kasih Yesus yang kita alami. Hanya mereka yang mengalami tindakan kasih Yesuslah yang sanggup menjadi pembawa kasih dan harapan bagi dunia sekitarnya. Pengalaman dikasihi Yesus membantu kita untuk hidup dalam harapan. Sehingga sekalipun dililit aneka persoalan hidup, kita selalu masih sanggup melihat kemungkinan karya Tuhan. Karena itu bagi kita, iman bukanlah penangkal derita. Iman adalah kunci yang membuka pintu harapan. Bahkan sekalipun pintu harapan itu sepertinya sama sekali tidak terlihat kala persoalan dan penderitaan mendera.
            Kendaraan Harapan. Kalau kita sudah mengalami tindakan belas kasih Yesus, masih perlukah kita mengajukan pertanyaan Yohanes Pembaptis tadi: “Engkaukah (mesias) yang akan datang itu atau kami harus menantikan yang lain?” Kini saatnya kita menjadi pembawa harapan bagi orang-orang di sekitar kita. Suami kepada Istri, Istri kepada Suami. Orang tua kepada anak, anak kepada Orang Tua. Kawan kepada lawan, musuh kepada sahabat, bahkan kepada orang-orang yang tidak dikenal sekalipun. Jadikan cara hidup kita, baik pikiran, perkataan, perbuatan maupun kebiasaan hidup sehari-hari sebagai terang harapan yang dapat dilihat dan dirasakan orang lain. Di mana ada permusuhan, bawalah pengampunan. Di mana ada keraguan, bawalah kepastian. Di mana ada kesedihan, bawalah penghiburan. Di mana ada persoalan, bawalah perhatian. Di mana ada keputusasaan, bawalah harapan. Sebab hari ini, Tuhan mau memakai kita sebagai kendaraan harapanNya. Membawa harapan di jalan-jalan berdebu kehidupan sesama.
            Pesan Paus Fransiskus. Saya kutip pesan beliau sebagai inspirasi kita bersama: " Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan. Bukan Gereja yang sehat dan sibuk dengan keamanannya sendiri" (Kompas, Kamis, 28 Nov 2013)
Salam Harapan,
Dkn Charles Leta, SMM



     

Sabtu, 07 Desember 2013

ADVEN: Menakar Masa Depan Pembaptisan

Minggu Adven II, 8 Desember 2013
Injil Matius 3: 1-12


Di musim durian seperti sekarang ini, anak-anak biasanya suka duduk dekat pohon durian. Mereka menunggu durian jatuh. Setiap mereka menunggu dengan kesiapan: telinga dipasang, mata terbuka lebar dan kaki siap berlari menuju tempat durian itu jatuh. Siapa yang benar-benar siap, dialah yang mendapatkan duriannya. Kitapun kini sedang menjalani masa menunggu kedatangan Yesus, masa adventus. Siapa yang menunggu dengan kesiapan, dialah yang bakal mendapatkan Yesus. Kesiapan seperti apakah yang bisa kita lakukan?
            Hari ini Yohanes Pembaptis tampil sebagai nabi yang mempersiapkan kedatangan Yesus. Ia berseru-seru di padang gurun: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Kedatangan Yesus dipersiapkan dengan pertobatan. Orang-orang yang mendengarkan seruan Yohanes, datang mengakukan dosa mereka dan memberi diri dibaptis. Kita menemukan hubungan sangat erat antara pembaptisan dan pertobatan. Pertobatan adalah isi pembaptisan. Sebab dengan memberi diri dibaptis, setiap kita berkomitmen untuk tidak lagi menjadi hamba dosa, tetapi menjadi anak Allah yang mau hidup sesuai kehendak Allah.
Mari kita kembali sejenak ke saat dulu kita dibaptis. Di hadapan Tuhan, setiap kita (baik secara pribadi maupun melalui wali baptis) telah menyatakan kesanggupan untuk menolak tindakan dosa. Yang pertama, “... sanggup menentang kejahatan dalam diri sendiri dan masyarakat.” Kedua, “...sanggup menolak godaan-godaan dalam bentuk takhyul, perjudian dan hiburan yang tidak sehat.” Ketiga, “...sanggup berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur dan yang melanggar hak-hak asasi manusia.” Kini kita perlu dengan jujur menjawab apakah kita memang telah benar-benar sanggup menunaikan janji-janji pembaptisan ini? Janji-janji mana saja yang sering kita langgar? Dalam kenyataan, komitmen pembaptisan ini belum sepenuhnya kita penuhi. Seperti bejana rapuh, kita mudah jatuh kembali kepada dosa dan mengabaikan Allah. Pembaptisan memang telah membuat kita menjadi anak-anak Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti kita telah bebas dari kelemahan manusiawi dan kecenderungan untuk berdosa. Karena itu, kita membutuhkan sarana untuk setiap saat berdamai dengan Allah. Sarana itu tidak lain adalah pertobatan.Tetapi persoalan besarnya justru terletak pada bahwa tidak setiap kita mampu menyadari kedosaan kita ini. Bukankah hanya kalau orang tahu dirinya sakit maka ia mau berobat? Demikian pula, hanya kalau orang sadar kalau dirinya berdosa, maka ia mau bertobat. Semua orang memang berdosa. Semua orang bisa melanggar janjinya. Tapi sayangnya hanya sedikit yang sadar kalau ia berdosa. Dan karena itu hanya sedikit saja yang barangkali mau bertobat. Pertobatan baru terjadi kalau orang sungguh sadar akan keberdosaannya.
    Satu kenyataan yang kini terjadi di hampir setiap paroki bahwa kamar pengakuan sudah mulai sepi. Tidak banyak umat yang datang dan meminta pengakuan dosa pribadi dengan Pastor. Tentu ada banyak alasan yang sifatnya pribadi. Ada yang malu, ada yang takut kalau dosanya dibocorkan pastor, ada yang enggan karena punya persoalan pribadi dengan pastor, ada yang memang karena tidak tahu dan ada yang justru merasa tidak membutuhkan: “bukankah kita bisa langsung mengaku dosa dengan Tuhan saja?!!” Padahal sakramen tobat adalah sarana yang ditetapkan Yesus Kristus dan dipercayakan kepada Gereja (lih. Yoh 20:22a-23, supaya kita bisa setiap saat berdamai kembali dengan Allah, sama seperti anak hilang yang diterima kembali oleh Bapanya (Luk 15:11-32). Apa yang diminta dari kita adalah penyesalan yang sungguh atas dosa-dosa kita, keberanian mengatakannya kepada Imam serta niat untuk sungguh-sungguh mengubah diri. Jika kita memberi diri dengan sungguh maka rahmat pengampunan Allah akan sungguh mengubah dan membaharui hidup kita.  
Setiap orang yang dibaptis itu sama seperti pemilik pohon. Ia mesti berusaha supaya pohon pembaptisannya bertumbuh subur dan berbuah lebat. Buahnya itu tidak lain adalah cara hidup yakni pikiran, sikap dan kebiasaan yang selaras dengan janji pembaptisan. Kalau belum berbuah maka ia harus terus-menerus membaharui diri melalui pertobatan. Sebab “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang dalam api.” Pada akhirnya, kuasa Allah akan bertitah atas hidup kita: “Alat penampi sudah di tanganNya. Ia akan membersihkan tempat pengirikanNya dan mengumpulkan gandumNya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakarNya dalam api yang tidak terpadamkan.”
Karena itu, nantikanlah Kristus dengan kembali bertobat supaya pohon pembaptisan kita berbuah lebat sekarang di dunia ini, maupun kelak di akhir zaman.

Dkn. Charles Leta, SMM


              

              

Kamis, 14 November 2013

BUAT YESUS, APA SIH YANG NGGAK ?

Minggu, 17 November 2013, Minggu Biasa 33
Bacaan Injil: Luk 21:5-19

Para murid akan mengalami penderitaan. Ini dikatakan sendiri oleh Yesus kepada murid-muridNya dalam perikop Injil minggu ini. Menderita karena apa? Menderita karena percaya dan bersaksi tentang Yesus. Tetapi penderitaan seperti apa yang akan dialami? Apakah sabda Yesus ini (telah) benar-benar terjadi?
Ada beberapa bentuk penderitaan yang dikatakan Yesus. Pertama, Bait Allah akan diruntuhkan: “...akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun dibiarkan terletak di atas batu yang lain. Semuanya akan diruntuhkan.” Yerusalem telah mengalami kebenaran kata-kata Yesus ini. Demikian pula Gereja Indonesia kini. Tercatat sudah sekian banyak gereja dan sekolah Katolik yang dirusak atau ditutup. Mendirikan gerejapun menjadi urusan yang sangat sulit. Sehingga di beberapa tempat saudara seiman kita bukan hanya tidak bisa mendapatkan tempat yang layak untuk merayakan Ekaristi, tetapi bahkan kesempatan untuk berkumpul-berdoapun dibatasi. Bagaimana dengan kita? Apakah kenyataan ini juga adalah pengalaman gereja kita? Bangunan gereja kita mungkin tidak diruntuhkan. Tetapi (bisa jadi) semangat ke gereja itulah yang sedang runtuh.  
Kedua, “...banyak orang akan datang dengan memakai namaKu dan berkata: Akulah Dia, dan saatnya sudah dekat.” Inilah bahaya nabi-nabi palsu dengan pewartaan palsu pula. Tentang bahaya ini Yesus meminta kita waspada dan jangan mengikuti mereka. Masih segar dalam ingatan kita beberapa kelompok yang digerakkan oleh kepercayaan akan kedatangan hari kiamat pada tanggal, bulan dan tahun tertentu. Ramalan mereka memang terbukti tidak benar, tetapi kenyataan bahwa ada umat Katolik yang ikut di dalamnya, tentu menjadi refleksi tersendiri bagi kita. Barangkali kita kehilangan sikap percaya yang sekaligus kritis. Karena itu kita justru mudah menerima keyakinan-keyakinan religius yang nampaknya ‘benar’, tetapi sesungguhnya bertentangan dengan semangat dan isi iman kristiani.
Ketiga, “...akan terjadi peperangan, bencana alam, kelaparan dan penyakit.” Peristiwa seperti ini dengan mudah kita saksikan di televisi, juga dalam kenyataan hidup kita sendiri. Penderitaan manusia yang disebabkannya sungguh ganas dan memilukan. Semua itu terjadi hampir di luar kendali kita. Kita seolah tidak bisa berbuat apa-apa. Contoh terakhir badai topan Haiyan di Filipina yang menewaskan hampir dua ribuan jiwa. Mengalami kenyataan ini, orang mungkin akan bergelut dengan imannya sendiri: “Mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi? , “Apa benar ada Tuhan? Kalau ada, masakan Dia hanya menonton umatNya mati sia-sia?”
Keempat, penderitaan karena nama Yesus. Seperti halnya para murid yang  “ditangkap”, “dianiaya”, “dihadapkan ke pengadilan” karena percaya kepada Yesus dan bersaksi tentang namaNya. Pengalaman ini nyata dalam hidup umat perdana. Mereka dikejar-kejar, diadili dan bahkan dibunuh karena keteguhan iman mereka. Iman kepada Yesus bahkan mengakibatkan setiap muridNya “dibenci” oleh keluarganya sendiri. Bukankah tidak ada kenyataan yang lebih membuat kita menderita selain bahwa kita tidak diterima oleh keluarga kita sendiri ?
Pertanyaan kita: untuk apa Yesus bicara soal aneka bentuk penderitaan ini? Tentu bukan untuk sekadar menakut-nakuti kita. Tetapi sebaliknya supaya kita memiliki keberanian iman dalam menghadapi apapun kesulitan dan tantangan karena mengikuti Yesus. Kenapa mesti berani? Sebab seperti yang terbukti dalam perjuangan iman para rasul, Yesus sendirilah yang menyanggupkan kita. Ia memberikan “kata-kata hikmat” untuk bersaksi, Ia memelihara sehingga “tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang”, dan di atas semuanya itu: “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” Demikian yang akan terjadi pada kita yang percaya padaNya. Tuhan Yesus sendiri menjadi jaminan hidup bagi siapapun yang berani menderita karena iman kepadaNya.
Tetapi, apa benar kita sudah cukup menderita karena Yesus? Pertanyaan ini penting untuk kita gali. Sebab barangkali kita tidak mengalami bentuk penderitaan seperti yang disebutkan Yesus tadi. Atau beratnya penderitaan kita belum seberat yang dialami para rasul. Penderitaan yang dimaksud Yesus sesungguhnya adalah apapun situasi atau kondisi sulit yang kita alami karena memperjuangkan iman kita. Kita berani mengorbankan kepentingan bahkan keselamatan kita sendiri karena mau hidup seperti Yesus, karena mau menghayati nilai-nilai yang diajarkanNya. Seringkali karena tak tahan hidup susah, orang memilih cara hidup tidak jujur. Ada yang mau kaya dengan korupsi, mau berkuasa dengan sikut-menyikut, mau makan enak tanpa kerja keras, mau diwisuda dengan copy-paste, mau tenar dengan jual diri, mau kenikmatan sekalipun berselingkuh, dll. Jadi ada krisis luar biasa nilai-nilai kristiani karena orang mengejar keinginannya dengan lebih memakai “cara dunia” ketimbang “cara Yesus”. Dengan demikian kalau mau jujur, kita belum cukup berani menderita demi Yesus dan ajaranNya!
Buat Yesus, apa sih yang nggak? Kalau Yesus sudah jadi pilihan hati, maka apapun akan kita lakukan, sekalipun itu adalah penderitaan. Sebab siapa yang berani menderita karena Yesus, ia akan mengalami pertolonganNya. Yesus sendiri menegaskan bahwa kalau kita tetap bertahan dalam setiap kesulitan, kita akan memperoleh kehidupan. Percaya ini. Dan mari berani hidup dengan cara Yesus...
Salam Hangat,

Dkn Charles Leta, SMM



 


Jumat, 25 Oktober 2013

“KASIHANILAH AKU ORANG BERDOSA INI...”


Minggu Biasa 30
Bacaan Injil: Luk 18:9-14

            Metafora kain putih. Bila dilihat dari kejauhan, selembar kain putih akan selalu terlihat putih. Sekalipun kain putih itu memiliki bercak-bercak noda, toh tetap saja terlihat putih. Tetapi cobalah kita mendekatkan kain putih itu ke arah cahaya lampu. Seketika itu juga, akan jelas terlihat oleh mata kita, noda-nodanya. Bintik-bintik noda yang paling kecilpun dapat segera kita lihat. Demikianlah semakin kita mendekatkan diri pada Kristus Sang Cahaya Sejati, makin nyata kerapuhan dan kesalahan kita.
Yesus mengkritik orang yang “menganggap diri benar dan memandang rendah semua orang lain.” Kiranya mereka ini adalah orang-orang yang merasa diri tidak pernah bersalah dan karena itu dengan mudah menempatkan dirinya lebih tinggi di atas orang lain. Kepada mereka, kritik disampaikan Yesus melalui sebuah perumpamaan tentang dua orang yang “pergi berdoa ke bait Allah” dengan isi doa yang berbeda satu sama lain. Rupanya isi doa seseorang sangat menggambarkan seperti apa pribadinya. Dengan kata lain, “Kita adalah isi doa kita!” Orang seperti apakah kita dapat dikenali dari cara dan isi doa kita.
            Doa orang Farisi: contoh doa orang sombong. Mengapa demikian? Pertama, isi doanya mengarah pada diri sendiri. Orang Farisi ini memang menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan. Tetapi syukurnya itu berpusat pada dirinya sendiri. Ia bersyukur karena dirinya “tidak sama seperti orang lain yang melakukan kejahatan: perampok, pezinah, pemungut cukai.” Dengan membandingkan diri dengan orang lain, ia menempatkan dirinya lebih tinggi. Padahal doa syukur yang sejati terarah pada kebaikan Allah dan sesama. Kedua, dalam doanya, orang Farisi ini menonjolkan kebaikan-kebaikan yang ia buat: berpuasa dan berderma. Bukankah Tuhan tahu segala niat dan tindakan baik kita? Mengatakan semua itu dalam doa hanyalah sebuah upaya meninggikan diri di hadapan Tuhan. Apa pantas kita melakukan demikian dalam doa? Orang yang suka menghitung-hitung kebaikannya pasti menjadi tidak tulus dalam tindakan dan sombong dalam memandang sekitarnya.
            Doa Pemungut Cukai: contoh doa orang rendah hati. Berbeda dengan orang Farisi tadi, si Pemungut Cukai berdoa dengan sikap dan isi doa yang indah. Ia hanya “berdiri jauh-jauh” dari tempat doa dan bahkan “tidak berani menengadah ke langit.” Ia justru “memukul diri”, mungkin “menepuk dada” tanda penyesalan dan berdoa memohon ampun: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini...” Indah, bukan? Orang ini tahu dengan baik dengan siapa dia berbicara. Di hadapan Tuhan yang penuh Kuasa dan Kerahiman, ia menyadari kerapuhan dirinya dan dengan sungguh meminta pengampunan atas dosa-dosanya. Hal ini memang tidak akan pernah diminta oleh mereka yang merasa tidak pernah berdosa, bukan? Dari sikap dan isi doanya saja, kita sudah langsung tahu, orang ini rendah hati. Dan Yesus menegaskan: orang seperti inilah “yang dibenarkan Allah.”
            Tuhan memang meminta kita menjadi sempurna: “Haruslah kamu sempurna, sama seperti BapaMu di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Tetapi kesempurnaan hidup kristiani ini tidak kita kejar dengan mengabaikan apalagi merendahkan orang lain. Tuntutan menjadi orang saleh dan taat beragama itu jelas. Tetapi sebaiknya kita berjuang pula menjadi orang yang mampu menerima dan menghargai siapapun. Menerima mereka yang kita sisihkan karena dosa-kesalahan (masa lalu) mereka. Menghargai mereka yang kita abaikan karena rasa cuek dan antipatinya pada hidup menggereja. Peduli pada mereka-mereka ini jelas tidak mudah. Hanya orang yang telah mengalami pengampunan Tuhan saja yang sanggup melakukannya sebab mereka tahu baik, kasih Tuhan itu berharga bagi siapapun.
Semua orang berharga di mata Allah. Dosa dan kesalahan tidak pernah menutup rapat pintu belas kasih Allah. PadaNya masih selalu ada harapan selama orang menyesal dan memohon ampun. Tugas kita adalah menjadi duta belas kasih Allah ini. Jadilah pribadi berjiwa besar yang sanggup menerima, menghargai dan memaafkan. Semangat ini bisa dimiliki selama kita sendiri bersedia -membungkukkan badan- menepuk dada- dan dengan rendah hati berdoa-: “Ya Yesus, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Doakan ini setiap hari maka kita bukan hanya diampuni, tapi juga sanggup mengampuni!

Salam Hangat,

D. Charles Leta, SMM

 
                 
             
           
            

Sabtu, 19 Oktober 2013

Dengan Tidak Jemu-Jemu



Hari Minggu Biasa 29
Bacaan Injil: Luk 18:1-8

                Yesus mengajar kita supaya berdoa dengan tidak jemu-jemu. Berdoa tidak jemu-jemu berarti berdoa terus-menerus, ‘siang dan malam’. Tetapi mengapa Tuhan meminta kita demikian? Untuk apa berdoa terus-menerus? Satu-dua kali saja sudah cukup, bukan? Tidakkah Tuhan telah tahu isi hati kita? Kalau begitu untuk apa Yesus meminta kita berdoa tidak jemu-jemu?
Untuk menerangkan hal ini, Yesus memberikan sebuah cerita. Di sebuah kota, ada seorang hakim yang tidak takut kepada Tuhan dan tidak menghormati sesamanya. Rupanya hakim ini tidak kenal Tuhan dan cuek dengan orang lain. Dia berperilaku jahat dan tidak adil. Tetapi ada pula di kota itu, seorang janda yang sedang punya perkara dan memperjuangkan haknya kepada si hakim, tetapi tidak pernah didengarkan. Apa yang dilakukan janda itu? Janda ini tidak putus asa. Tanpa jemu-jemu, dia terus saja datang kepada si hakim untuk meminta keadilan. Nah, si hakim akhirnya jengkel pada janda yang terus datang kepadanya. Karena jengkel si hakimpun berpikir begini: “Ah, daripada janda itu selalu datang dan mengganggu saya, lebih baik saya memenangkan perkaranya saja!” Jadi hakim yang jahat itu akhirnya mengabulkan permintaan si janda, bukan karena dia berperilaku adil, tetapi semata-mata karena dia tidak mau terus-menerus didatangi oleh si janda!
            Nah, kalau hakim yang jahat saja sudah bisa bertindak seperti itu, apalagi Allah, Tuhan kita? Bukankah Allah adalah Bapa yang Maha Baik? Bukankah Dia akan mendengarkan semua umat yang datang berdoa kepadaNya, siang dan malam? Allah tidak akan pernah mengulur-ulur waktu untuk menolong umatNya, demikian kata Yesus sendiri. Dengan demikian, Yesus mengajak kita untuk memiliki keberanian hati, untuk seperti si janda itu, tidak pernah putus asa-tidak pernah berhenti untuk berdoa dan meminta, sekalipun kerapkali belum dikabulkan. Tetapi apakah kita punya iman seperti si janda itu, yang terus meminta walau dikecewakan? Kita dapat menilai sendiri cara bagaimana kita berdoa selama ini. Apakah kita berdoa dengan tekun? Atau hanya satu atau dua kali saja, terus berhenti? Apakah kita setia meminta satu hal saja berulang-ulang? Atau hanya sekali meminta, lalu kalau belum dikabulkan, kita kecewa, mundur dan berhenti meminta lagi?
            Tuhan Yesus sendiri menyatakan keraguannya akan iman kita: “Kalau Aku datang kepada manusia, apakah aku mendapati iman pada mereka?” Memang bertahan dalam iman itu menjadi susah ketika kita merasa Tuhan kok lambat sekali mendengarkan dan memenuhi permintaan kita. Susah sekali! Siapa yang tetap percaya pada Tuhan, ketika doa-doanya belum dikabulkan? “Coba tunjukkan pada saya Pastor bagaimana sih kebaikan Tuhan itu, sementara permintaan-permintaan saya belum juga dikabulkan!” Dengan begitu mudah, kita menjadi putus asa dan kehilangan iman, menjadi malas dan kehilangan semangat setiap kali kita merasa dikecewakan oleh Tuhan yang kita percayai.
            Tetapi apakah kekecewaan kita memang pada tempatnya? Jangan-jangan ada yang keliru dengan cara kita berdoa. Bisa jadi kita berdoa hanya pada ‘musim-musim’ tertentu saja. Berdoa tunggu kalau ada maunya. Bisa jadi kita berdoa dengan sikap ragu-ragu dan sombong. Tidak cukup yakin akan kemahakuasaan Tuhan tetapi juga terlampau yakin akan kepantasan diri di hadapan Tuhan. Jika demikian, marilah kita berdoa dengan penuh iman dan kerendahan hati. Berdoa dengan penuh iman membuat kita tidak pernah kehilangan harapan ketika doa kita belum terkabul. Berdoa dengan rendah hati membuat kita tidak pernah kehilangan rasa syukur. Sebab ketika doa kita belum terkabul, itulah yang terbaik bagi kita. Karena Tuhan paling tahu apa yang paling baik untuk kita. Dia tahu kapan saat terbaik untuk memberikannya kepada kita.
            Lebih dari itu, berdoa sejatinya adalah kesempatan berbicara pribadi dengan Tuhan. Karena itu, berdoa bisa terjadi kapan saja dan tentang apa saja. Bukan melulu soal minta-meminta. Di sana bisa ada syukur, pujian, tawa, keceriaan, keluhan, tangisan, gugatan, kemarahan, juga diam. Doa itu sharing atau curhat pribadi dengan Tuhan. Semuanya dilakukan dengan hati yang tulus, jujur dan apa adanya. Kalau berdoa kita hidupi sebagai demikian maka yang paling penting bagi kita bukan lagi pada apakah permintaan kita terpenuhi atau tidak. Sebab doa itu sendiri sudah membuat kita semakin bersatu-hati dengan Tuhan dan itulah yang paling perlu untuk hidup kita sendiri. Mari berdoa dengan ‘tidak tahu diri’, mari tenggelam dalam keluasan hati Allah.      

D. Charles Leta, SMM


Jumat, 30 Agustus 2013

Most Wanted: ‘Orang Gila!’

Hari Minggu Biasa 22
Bacaan Injil: Luk 14:1, 7-14


         Saudara-saudariku yang dikasihi Tuhan,
Salam jumpa kembali di media ini. Injil di minggu biasa 22 ini berbicara tentang Dua Nasihat Yesus. Nasihat pertama supaya kita tidak meninggikan diri dengan mencari kehormatan. Nasihat kedua supaya kita selalu melakukan kebaikan dengan tidak meminta pamrih. Apa artinya kedua nasihat ini untuk kita ?
          Jangan meninggikan diri! Nasihat pertama ini disampaikan Yesus melalui suatu perbandingan sederhana. Ketika itu, Yesus diundang makan oleh salah seorang pemimpin Kaum Farisi. Tapi ada satu hal menonjol yang dilihatNya: para tamu berlomba-lomba menduduki kursi-kursi terdepan, tempat-tempat kehormatan. Melihat itu, Yesus menyampaikan nasihat supaya kalau diundang ke suatu pesta, janganlah mencari tempat duduk di tempat kehormatan. Mengapa demikian? Sebab bisa jadi akan datang kemudian orang yang jauh lebih terhormat dan karena itu, kita yang tadinya sudah duduk di sana bisa disuruh pindah ke tempat belakang. Dengan demikian kita justru akan dipermalukan karena meninggikan diri. Apa maksud Yesus dengan nasihat ini? “… Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditiinggikan.” Demikian Yesus menegaskan lebih pentingnya merendahkan diri. Sebab sikap meninggikan diri dengan mencari kehormatan dan merasa diri lebih hebat dari yang lain itu berbahaya! Orang bisa menjadi sombong, memandang remeh sesamanya bahkan kehilangan rasa takut kepada Tuhan. Sebaliknya orang yang rendah hati mudah dikasihi sesama, mudah pula didekati Tuhan.
            Apa yang membuat kita terhormat? Semua orang ingin dihormati. Menjadi orang terhormat adalah keinginan tiap manusia. Namun ada beragam cara menjadi terhormat. Salah satunya melalui pergaulan. Barangkali kita kerap menganggap diri terhormat hanya karena orang dengan siapa kita bergaul. Pergaulan dengan tokoh terkenal, orang berkuasa, kaya dan terpandang tak jarang jadi ukuran ‘gengsi’ kita. Duduk makan atau bepergian dengan mereka serasa menjadikan kita terpandang. Tetapi hidup Yesus mengajarkan lain. Kehormatan kita terletak pada kesediaan untuk merendahkan diri, menjadi pelayan bagi mereka yang membutuhkan. Kita terhormat kalau kita bergaul dan melayani mereka yang disepelekan dan disisihkan. Injil sendiri lebih banyak berkata bahwa: “…Yesus adalah sahabat pemungut cukai dan orang berdosa” (Luk 7:34).
            Jangan berbuat baik demi pamrih! Ini nasihat kedua Yesus. Yesus menyampaikannya dalam sebuah gambaran perjamuan. Kalau kita menjadi tuan rumah, janganlah mengundang hanya sahabat, saudara, keluarga, atau tetangga. Tetapi undanglah orang miskin, cacat, lumpuh dan buta. Mengapa? Sebab kelompok orang terakhir ini adalah mereka yang tidak berkemampuan untuk membalas perbuatan baik kita. Mereka ini tidak punya apa-apa untuk membalas kebaikan kita dan karena itu, kita dibantu untuk menjadi lebih tulus dalam memberi.
            Dengan siapa saja kita bergaul? Yesus tidak melarang kita bergaul dengan siapa saja. Yesus hanya ingin memutus rantai pergaulan yang kerapkali didasarkan bukan pada ketulusan. Bergaul karena punya kepentingan saja. Memberi demi pujian, kehormatan, ketenaran atau sekadar supaya dianggap baik. Bermanis bibir dan muka demi mendapat imbalan atau penerimaan. Dalam hal ini, pergaulan dengan orang-orang sederhana, baik yang kita kenal atau tidak, akan mendidik kita dalam hal ketulusan ini. Kita menerima mereka apa-adanya, memberi diri dengan jujur dan sepenuh hati. Tiada motivasi mencari imbalan, tanpa rasa curiga, tanpa pura-pura. Seperti Tuhan Yesus yang membiarkan semua orang dekat padaNya, sekalipun sebagian besar mereka hanya datang untuk ‘meminta dan meminta’. Sama seperti matahari menghangatkan bumi tanpa menuntut apa-apa, demikian kasih Yesus tulus dan menjangkau kita semua.
            Most Wanted: “Orang Gila!” Barangkali sudah saatnya menjadi ‘orang gila!’. Orang yang tergila-gila pada Yesus dan bersedia disebut gila oleh dunia karena mengikuti Yesus dengan gila! Kalau orang yang mencari kehormatan dan kekuasaan disebut waras, maka kita - sekalipun harus disebut gila – mengusahakan kerendahan hati dan pelayanan. Kalau dunia menganggap kerendahan hati dan pelayanan sebagai kegilaan di masa kini, maka kita – karena Yesus – menganggapnya sebagai kewarasan kita. Berani gila??!! Salam.

Fr. Charles Leta, SMM