Minggu Adven II, 8 Desember 2013
Injil Matius 3: 1-12
Di musim durian seperti sekarang ini, anak-anak biasanya suka duduk dekat
pohon durian. Mereka menunggu durian jatuh. Setiap mereka menunggu dengan
kesiapan: telinga dipasang, mata terbuka lebar dan kaki siap berlari menuju
tempat durian itu jatuh. Siapa yang benar-benar siap, dialah yang mendapatkan
duriannya. Kitapun kini sedang menjalani masa menunggu kedatangan Yesus, masa adventus.
Siapa yang menunggu dengan kesiapan, dialah yang bakal mendapatkan Yesus. Kesiapan seperti apakah yang bisa kita lakukan?
Hari ini Yohanes Pembaptis tampil
sebagai nabi yang mempersiapkan kedatangan Yesus. Ia berseru-seru di padang
gurun: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Kedatangan Yesus
dipersiapkan dengan pertobatan. Orang-orang yang mendengarkan seruan Yohanes, datang
mengakukan dosa mereka dan memberi diri dibaptis. Kita menemukan hubungan
sangat erat antara pembaptisan dan pertobatan. Pertobatan adalah isi
pembaptisan. Sebab dengan memberi diri dibaptis, setiap kita berkomitmen untuk
tidak lagi menjadi hamba dosa, tetapi menjadi anak Allah yang mau hidup sesuai
kehendak Allah.
Mari kita kembali sejenak ke saat dulu kita dibaptis. Di hadapan Tuhan, setiap
kita (baik secara pribadi maupun melalui wali baptis) telah menyatakan
kesanggupan untuk menolak tindakan dosa. Yang pertama, “... sanggup menentang
kejahatan dalam diri sendiri dan masyarakat.” Kedua, “...sanggup menolak
godaan-godaan dalam bentuk takhyul, perjudian dan hiburan yang tidak sehat.”
Ketiga, “...sanggup berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan yang tidak
adil atau tidak jujur dan yang melanggar hak-hak asasi manusia.” Kini kita perlu
dengan jujur menjawab apakah kita memang telah benar-benar sanggup menunaikan janji-janji pembaptisan ini? Janji-janji
mana saja yang sering kita langgar? Dalam kenyataan, komitmen pembaptisan ini belum
sepenuhnya kita penuhi. Seperti bejana rapuh, kita mudah jatuh kembali kepada
dosa dan mengabaikan Allah. Pembaptisan memang telah membuat kita menjadi
anak-anak Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti kita telah bebas dari kelemahan
manusiawi dan kecenderungan untuk berdosa. Karena itu, kita membutuhkan sarana
untuk setiap saat berdamai dengan Allah. Sarana itu tidak lain adalah
pertobatan.Tetapi persoalan besarnya justru terletak pada bahwa tidak setiap kita
mampu menyadari kedosaan kita ini. Bukankah hanya kalau orang tahu dirinya
sakit maka ia mau berobat? Demikian pula, hanya kalau orang sadar kalau dirinya
berdosa, maka ia mau bertobat. Semua orang memang berdosa. Semua orang bisa melanggar
janjinya. Tapi sayangnya hanya sedikit yang sadar kalau ia berdosa. Dan karena
itu hanya sedikit saja yang barangkali mau bertobat. Pertobatan baru terjadi
kalau orang sungguh sadar akan keberdosaannya.
Satu kenyataan yang kini terjadi di hampir
setiap paroki bahwa kamar pengakuan sudah mulai sepi. Tidak banyak umat yang
datang dan meminta pengakuan dosa pribadi dengan Pastor. Tentu ada banyak
alasan yang sifatnya pribadi. Ada yang malu, ada yang takut kalau dosanya
dibocorkan pastor, ada yang enggan karena punya persoalan pribadi dengan pastor,
ada yang memang karena tidak tahu dan ada yang justru merasa tidak membutuhkan:
“bukankah kita bisa langsung mengaku dosa dengan Tuhan saja?!!” Padahal
sakramen tobat adalah sarana yang ditetapkan Yesus Kristus dan dipercayakan
kepada Gereja (lih. Yoh 20:22a-23, supaya kita bisa setiap saat berdamai
kembali dengan Allah, sama seperti anak hilang yang diterima kembali oleh
Bapanya (Luk 15:11-32). Apa yang diminta dari kita adalah penyesalan yang
sungguh atas dosa-dosa kita, keberanian mengatakannya kepada Imam serta niat
untuk sungguh-sungguh mengubah diri. Jika kita memberi diri dengan sungguh maka
rahmat pengampunan Allah akan sungguh mengubah dan membaharui hidup kita.
Setiap orang yang dibaptis itu sama seperti pemilik pohon. Ia mesti
berusaha supaya pohon pembaptisannya bertumbuh subur dan berbuah lebat. Buahnya
itu tidak lain adalah cara hidup yakni pikiran, sikap dan kebiasaan yang
selaras dengan janji pembaptisan. Kalau belum berbuah maka ia harus
terus-menerus membaharui diri melalui pertobatan. Sebab “Kapak sudah tersedia
pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti
ditebang dan dibuang dalam api.” Pada akhirnya, kuasa Allah akan bertitah atas
hidup kita: “Alat penampi sudah di tanganNya. Ia akan membersihkan tempat
pengirikanNya dan mengumpulkan gandumNya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami
itu akan dibakarNya dalam api yang tidak terpadamkan.”
Karena itu, nantikanlah Kristus dengan kembali bertobat supaya pohon
pembaptisan kita berbuah lebat sekarang di dunia ini, maupun kelak di akhir
zaman.
Dkn. Charles Leta, SMM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar