Hari
Minggu Biasa XXXIV, Minggu 25 November 2012
Bacaan:
Daniel 7:13-14, Wahyu 1:5-8, Yohanes 8:33b-37
Apa yang kita bayangkan tentang seorang
raja? Kalau melihat dalam film-film,
raja pasti lelaki yang gagah dan hebat. Berpakaian bagus, suaranya berwibawa,
punya pengawal dan pasukan bersenjata, memiliki istana yang megah dan tentu
saja dihormati dan disegani oleh bangsanya. Kalau dalam kehidupan kita sekarang
gambaran seorang raja bisa kita lihat pada diri pemimpin negara atau pemimpin
daerah lainnya, juga pemimpin-pemimpin apa saja yang mengepalai banyak orang. Tak
sedikit dari mereka adalah pemimpin yang keras dan penindas, juga licik dan
koruptif. Nah Kalau Yesus yang jadi
seorang Raja, bagaimana nih gambarannya?
Injil Yohanes kali ini memberikan kesaksian tentang Yesus sebagai seorang Raja.
Dalam
kisah injil hari ini terjadi dialog antara Pilatus dan Yesus dalam istana.
Sementara di luar, orang-orang Yahudi ramai-ramai
berteriak dan menuntut supaya Yesus disalibkan. Yesus dituntut bersalah
karena menyebut dirinya Raja (ay. 37). Tapi jelas bagi kita bahwa Yesus adalah
raja yang berbeda dari pemimpin-pemimpin dunia pada umumnya. Yesus ditolak oleh bangsaNya sendiri, bahkan
dituntut untuk disalibkan. Yesus juga tidak punya pasukan yang dapat membantu membela DIA saat itu.
Lalu
Raja seperti apa Yesus ini? dan Kerajaan seperti apa yang DIA miliki? Kepada
Pilatus (ay. 36) Yesus menegaskan bahwa
KerajaanNya bukan dari dunia ini. Maksudnya bahwa Yesus tidak menjadi
Raja dengan cara-cara politik seperti yang terjadi dalam kehidupan kita.
Kerajaan Yesus juga bukan seperti pemerintahan negara atau daerah sekarang ini.
Yesus meraja di dalam dunia kita
dengan cara yang lain sama sekali.
Yesus sebagai Raja tidak datang dari dunia kita, tapi datang dari Allah (ay. 37). Yesus datang ke dalam dunia sebagai
Raja untuk bersaksi tentang kebenaran
dan “…setiap orang yang berasal dari kebenaran
mendengarkan suaraKu”, demikian kata Yesus kepada Pilatus. Dan persis di situ,
Yesuslah yang justru sedang mengadili Pilatus.
Yesus menguji Pilatus apakah dia termasuk orang yang berasal dari Allah karena
menerima kesaksian Yesus atau sebaliknya? Dan ternyata kita mendapati bahwa
Pilatus menghindar untuk memberi jawaban YA pada pertanyaan Yesus. Pilatus pura-pura balik bertanya “Apakah kebenaran
itu?” (ay. 38) untuk menghindar dari Yesus. Pilatus memang tidak menemukan kesalahan pada Yesus. Ia
memandang Yesus sebagai orang benar, tapi pada saat yang sama Ia tidak berani
mengungkapkan iman dan kepercayaannya
pada Yesus. Pilatus takut dan memilih bersikap mendua. Inilah kegagalan Pilatus untuk menerima Yesus
sebagai Raja.
Dialog
Yesus dan Pilatus mengajak kita untuk memahami Yesus sebagai Raja yang datang dari Allah, bukan raja seperti yang kita lihat sekarang.
Sebagai Raja Yesus datang memberi kesaksian tentang kebenaran: Allah Bapa mengasihi kita dan menghendaki kita selamat melalui
Yesus Kristus PuteraNya. Maka selanjutnya, Yesus mengundang kita untuk sungguh-sungguh
PERCAYA pada kesaksian Yesus ini, Percaya dan melakukan kehendakNya.
Percaya dan menerima Yesus sebagai Raja
sama artinya membiarkan diri kita dikuasai dan digerakkan oleh perintah dan kehendakNya. Hanya dengan begitu,
Yesus sungguh-sungguh menjadi OUR KING!! Tantangan kita adalah sikap mendua
Pilatus. Mungkin kita kerap memilih sebagai orang-orang netral saja. Kita menganggap Yesus sebagai orang baik dan tak
bersalah, tetapi kita enggan percaya pada sabda dan perintahNya. Kita
menyebut diri pengikut Kristus, tapi cukup takut hidup seperti Kristus. Percaya
pada Yesus memang selalu menuntut kesiapan untuk "sering sakit-terluka". Tapi seperti kata St. Montfort: “Jika kita tidak
berani mengambil risiko, kita tidak akan melakukan hal besar untuk Tuhan.” Sebab
hanya kepada mereka yang menerima DIAlah, Yesus menyebutnya: berasal dari Allah. Deo Soli, Hanya
Tuhan!
Fr. Charles, SMM
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus