Sabtu, 07 Desember 2013

ADVEN: Menakar Masa Depan Pembaptisan

Minggu Adven II, 8 Desember 2013
Injil Matius 3: 1-12


Di musim durian seperti sekarang ini, anak-anak biasanya suka duduk dekat pohon durian. Mereka menunggu durian jatuh. Setiap mereka menunggu dengan kesiapan: telinga dipasang, mata terbuka lebar dan kaki siap berlari menuju tempat durian itu jatuh. Siapa yang benar-benar siap, dialah yang mendapatkan duriannya. Kitapun kini sedang menjalani masa menunggu kedatangan Yesus, masa adventus. Siapa yang menunggu dengan kesiapan, dialah yang bakal mendapatkan Yesus. Kesiapan seperti apakah yang bisa kita lakukan?
            Hari ini Yohanes Pembaptis tampil sebagai nabi yang mempersiapkan kedatangan Yesus. Ia berseru-seru di padang gurun: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Kedatangan Yesus dipersiapkan dengan pertobatan. Orang-orang yang mendengarkan seruan Yohanes, datang mengakukan dosa mereka dan memberi diri dibaptis. Kita menemukan hubungan sangat erat antara pembaptisan dan pertobatan. Pertobatan adalah isi pembaptisan. Sebab dengan memberi diri dibaptis, setiap kita berkomitmen untuk tidak lagi menjadi hamba dosa, tetapi menjadi anak Allah yang mau hidup sesuai kehendak Allah.
Mari kita kembali sejenak ke saat dulu kita dibaptis. Di hadapan Tuhan, setiap kita (baik secara pribadi maupun melalui wali baptis) telah menyatakan kesanggupan untuk menolak tindakan dosa. Yang pertama, “... sanggup menentang kejahatan dalam diri sendiri dan masyarakat.” Kedua, “...sanggup menolak godaan-godaan dalam bentuk takhyul, perjudian dan hiburan yang tidak sehat.” Ketiga, “...sanggup berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur dan yang melanggar hak-hak asasi manusia.” Kini kita perlu dengan jujur menjawab apakah kita memang telah benar-benar sanggup menunaikan janji-janji pembaptisan ini? Janji-janji mana saja yang sering kita langgar? Dalam kenyataan, komitmen pembaptisan ini belum sepenuhnya kita penuhi. Seperti bejana rapuh, kita mudah jatuh kembali kepada dosa dan mengabaikan Allah. Pembaptisan memang telah membuat kita menjadi anak-anak Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti kita telah bebas dari kelemahan manusiawi dan kecenderungan untuk berdosa. Karena itu, kita membutuhkan sarana untuk setiap saat berdamai dengan Allah. Sarana itu tidak lain adalah pertobatan.Tetapi persoalan besarnya justru terletak pada bahwa tidak setiap kita mampu menyadari kedosaan kita ini. Bukankah hanya kalau orang tahu dirinya sakit maka ia mau berobat? Demikian pula, hanya kalau orang sadar kalau dirinya berdosa, maka ia mau bertobat. Semua orang memang berdosa. Semua orang bisa melanggar janjinya. Tapi sayangnya hanya sedikit yang sadar kalau ia berdosa. Dan karena itu hanya sedikit saja yang barangkali mau bertobat. Pertobatan baru terjadi kalau orang sungguh sadar akan keberdosaannya.
    Satu kenyataan yang kini terjadi di hampir setiap paroki bahwa kamar pengakuan sudah mulai sepi. Tidak banyak umat yang datang dan meminta pengakuan dosa pribadi dengan Pastor. Tentu ada banyak alasan yang sifatnya pribadi. Ada yang malu, ada yang takut kalau dosanya dibocorkan pastor, ada yang enggan karena punya persoalan pribadi dengan pastor, ada yang memang karena tidak tahu dan ada yang justru merasa tidak membutuhkan: “bukankah kita bisa langsung mengaku dosa dengan Tuhan saja?!!” Padahal sakramen tobat adalah sarana yang ditetapkan Yesus Kristus dan dipercayakan kepada Gereja (lih. Yoh 20:22a-23, supaya kita bisa setiap saat berdamai kembali dengan Allah, sama seperti anak hilang yang diterima kembali oleh Bapanya (Luk 15:11-32). Apa yang diminta dari kita adalah penyesalan yang sungguh atas dosa-dosa kita, keberanian mengatakannya kepada Imam serta niat untuk sungguh-sungguh mengubah diri. Jika kita memberi diri dengan sungguh maka rahmat pengampunan Allah akan sungguh mengubah dan membaharui hidup kita.  
Setiap orang yang dibaptis itu sama seperti pemilik pohon. Ia mesti berusaha supaya pohon pembaptisannya bertumbuh subur dan berbuah lebat. Buahnya itu tidak lain adalah cara hidup yakni pikiran, sikap dan kebiasaan yang selaras dengan janji pembaptisan. Kalau belum berbuah maka ia harus terus-menerus membaharui diri melalui pertobatan. Sebab “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang dalam api.” Pada akhirnya, kuasa Allah akan bertitah atas hidup kita: “Alat penampi sudah di tanganNya. Ia akan membersihkan tempat pengirikanNya dan mengumpulkan gandumNya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakarNya dalam api yang tidak terpadamkan.”
Karena itu, nantikanlah Kristus dengan kembali bertobat supaya pohon pembaptisan kita berbuah lebat sekarang di dunia ini, maupun kelak di akhir zaman.

Dkn. Charles Leta, SMM


              

              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar