Jumat, 23 November 2012

JESUS IS MY KING


Hari Minggu Biasa XXXIV, Minggu 25 November 2012
Bacaan: Daniel 7:13-14, Wahyu 1:5-8, Yohanes 8:33b-37


       
           Apa yang kita bayangkan tentang seorang raja? Kalau melihat dalam film-film, raja pasti lelaki yang gagah dan hebat. Berpakaian bagus, suaranya berwibawa, punya pengawal dan pasukan bersenjata, memiliki istana yang megah dan tentu saja dihormati dan disegani oleh bangsanya. Kalau dalam kehidupan kita sekarang gambaran seorang raja bisa kita lihat pada diri pemimpin negara atau pemimpin daerah lainnya, juga pemimpin-pemimpin apa saja yang mengepalai banyak orang. Tak sedikit dari mereka adalah pemimpin yang keras dan penindas, juga licik dan koruptif. Nah Kalau Yesus yang jadi seorang Raja, bagaimana nih gambarannya? Injil Yohanes kali ini memberikan kesaksian tentang Yesus sebagai seorang Raja.
            Dalam kisah injil hari ini terjadi dialog antara Pilatus dan Yesus dalam istana. Sementara di luar, orang-orang Yahudi ramai-ramai berteriak dan menuntut supaya Yesus disalibkan. Yesus dituntut bersalah karena menyebut dirinya Raja (ay. 37). Tapi jelas bagi kita bahwa Yesus adalah raja yang berbeda dari pemimpin-pemimpin dunia pada umumnya. Yesus ditolak oleh bangsaNya sendiri, bahkan dituntut untuk disalibkan. Yesus juga tidak punya pasukan yang dapat membantu membela DIA saat itu.
            Lalu Raja seperti apa Yesus ini? dan Kerajaan seperti apa yang DIA miliki? Kepada Pilatus (ay. 36) Yesus menegaskan bahwa KerajaanNya bukan dari dunia ini. Maksudnya bahwa Yesus tidak menjadi Raja dengan cara-cara politik seperti yang terjadi dalam kehidupan kita. Kerajaan Yesus juga bukan seperti pemerintahan negara atau daerah sekarang ini. Yesus meraja di dalam dunia kita dengan cara yang lain sama sekali.
            Yesus sebagai Raja tidak datang dari dunia kita, tapi datang dari Allah (ay. 37). Yesus datang ke dalam dunia sebagai Raja untuk bersaksi tentang kebenaran dan “…setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu”, demikian kata Yesus kepada Pilatus. Dan persis di situ, Yesuslah yang justru sedang mengadili Pilatus. Yesus menguji Pilatus apakah dia termasuk orang yang berasal dari Allah karena menerima kesaksian Yesus atau sebaliknya? Dan ternyata kita mendapati bahwa Pilatus menghindar untuk memberi jawaban YA pada pertanyaan Yesus. Pilatus pura-pura balik bertanya “Apakah kebenaran itu?” (ay. 38) untuk menghindar dari Yesus. Pilatus memang tidak menemukan kesalahan pada Yesus. Ia memandang Yesus sebagai orang benar, tapi pada saat yang sama Ia tidak berani mengungkapkan iman dan kepercayaannya pada Yesus. Pilatus takut dan memilih bersikap mendua. Inilah kegagalan Pilatus untuk menerima Yesus sebagai Raja.
            Dialog Yesus dan Pilatus mengajak kita untuk memahami Yesus sebagai Raja yang datang dari Allah, bukan raja seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai Raja Yesus datang memberi kesaksian tentang kebenaran: Allah Bapa mengasihi kita dan menghendaki kita selamat melalui Yesus Kristus PuteraNya. Maka selanjutnya, Yesus mengundang kita untuk sungguh-sungguh PERCAYA pada kesaksian Yesus ini, Percaya dan melakukan kehendakNya.
            Percaya dan menerima Yesus sebagai Raja sama artinya membiarkan diri kita dikuasai dan digerakkan oleh perintah dan kehendakNya. Hanya dengan begitu, Yesus sungguh-sungguh menjadi OUR KING!! Tantangan kita adalah sikap mendua Pilatus. Mungkin kita kerap memilih sebagai orang-orang netral saja. Kita menganggap Yesus sebagai orang baik dan tak bersalah, tetapi kita enggan percaya pada sabda dan perintahNya. Kita menyebut diri pengikut Kristus, tapi cukup takut hidup seperti Kristus. Percaya pada Yesus memang selalu menuntut kesiapan untuk "sering sakit-terluka". Tapi seperti kata St. Montfort: “Jika kita tidak berani mengambil risiko, kita tidak akan melakukan hal besar untuk Tuhan.” Sebab hanya kepada mereka yang menerima DIAlah, Yesus menyebutnya: berasal dari Allah. Deo Soli, Hanya Tuhan!
 Fr. Charles, SMM


Jumat, 16 November 2012

ORANG-ORANG PILIHAN


Hari Minggu Biasa XXXIII, Minggu 18 November 2012
Bacaan: Daniel 12:1-3, Ibrani 10:11-14, Markus 13:24-32


Banyak dari kita pasti pernah melihat film berjudul 2012. Isi utamanya, menggambarkan terjadinya hari kiamat, akhir kehidupan di dunia ini. Dalam film ini diperlihatkan tanda-tanda yang menyertai akhir dunia, misalnya seluruh kota Los Angeles runtuh dan tenggelam ke Samudra Pasifik, gunung api meletus, Washington DC diserbu tsunami dan menewaskan ribuan orang. Maka sebagian orang mulai merasa takut dan gelisah karena gambaran hari kiamat yang seperti itu. Padahal sebagai sebuah film, kisahnya belum benar-benar terjadi. Terus kenapa kita harus merasa takut atau gelisah? Atau reaksi sebaliknya, peduli amat dengan kiamat, toh itu belum pasti terjadi.
Namun tidak sedikit kelompok orang di beberapa daerah, yang membuat perhitungan tentang tahun, tanggal bahkan jam hari kiamat itu datang. Ketika saat itu tiba, mereka berkumpul di sebuah rumah dan berharap akan diselamatkan. Tapi nyatanya sampai sekarang kiamatnya tak datang-datang, juga tak seorang pun dari kita tahu kapan ia datang. Terus apa pentingnya nih bicara tentang kiamat? Apa benar kiamat akan tiba suatu saat? Nah persis pada kesempatan kali ini, Sabda Tuhan bicara pada kita mengenai hari kiamat atau akhir zaman itu.
Kepada para muridNya, Yesus berbicara mengenai tanda-tanda yang terjadi saat kiamat mendekat. Matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa langit akan goncang (ay 24-25).  Tanda lain dapat kita temukan dalam kitab Wahyu di mana Kota Yerusalem Baru akan penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal (Why 21:11). Tanda-tanda itu memang hanyalah gambaran situasi akhir zaman, bagaimana persisnya tak seorangpun tahu, karna toh akhir zaman belum pernah terjadi. Yang pasti bahwa dunia akan dibarui.
Tapi apa persisnya yang dimaksudkan Yesus dengan akhir zaman atau kiamat? Pada ayat 26 Yesus berkata bahwa pada waktu (akhir zaman) itu “… orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya.” Jadi akhir zaman tidak lain adalah peristiwa kedatangan Anak Manusia yakni KEDATANGAN TUHAN itu sendiri. Kalau dulu Tuhan datang ke dunia untuk menebus dosa manusia, maka pada akhir zaman nanti Tuhan datang lagi tetapi untuk MENGUMPULKAN ORANG-ORANG PILIHANNYA (ay. 27). Ya, Tuhan akan menyuruh malaikat-malaikatNya mengumpulkan semua umatNya yang tercerai-berai, dari segala daerah, dan MENYELAMATKAN mereka. Dengan kata lain, akhir zaman adalah hari di mana Tuhan datang untuk memilih sendiri serta menyelamatkan Orang-Orang PilihanNya saja. Siapa itu orang-orang pilihanNya? Tentu saja setiap orang yang percaya pada Tuhan dan hidup sesuai dengan imannya itu.
Para saudara, bukankah akhir zaman yang disampaikan Yesus ini merupakan KABAR GEMBIRA bagi kita orang yang percaya padaNya? Bukankah yang ada pada kita setelah mendengar perkataan Yesus tadi adalah kegembiraan sekaligus harapan bahwa pada saatnya nanti, setiap kita akan dipilih dan diselamatkan Tuhan? Kita mungkin takut terhadap gambaran akhir zaman yang lebih menyerupai gempa bumi itu. Kita mungkin takut ikut mati tiba-tiba dengan cara mengerikan seperti yang sering disampaikan dalam film atau buku tertentu. Tapi sabda Yesus tentu menggembirakan dan menghibur kita: Ia akan Datang dan Menyelamatkan kita. Kapan waktunya, tak seorang pun tahu (ay. 32). Yang pasti, perjuangan hidup, ketekunan iman dan perbuatan baik kita selama hidup tidak akan berakhir sia-sia. Tuhan memperhitungkannya sebagai jaminan untuk kelak boleh hidup bersatu bersama DIA.
Oleh karena itu, pesan Yesus hari ini tidak lain supaya kita PERCAYA akan KEDATANGANNYA pada akhir zaman. Kita yang PERCAYA tidak akan membuat hidup kita berjalan begitu saja. Kita yang PERCAYA akan mengusahakan sebuah hidup yang berkualitas yakni HIDUP sebagai ORANG-ORANG PILIHAN TUHAN. Apakah selama ini kita sudah cukup menjalankan hidup sebagai orang-orang pilihan Tuhan? Apa saja yang sudah dan mau kita perjuangkan selama masih di dunia ini?
Kematian memang berlaku sama untuk setiap manusia. Namun cara kita mengisi hidup sebelum kematian itulah yang memberi perbedaan. Kita yang percaya pada Tuhan akan menjalani hidup sebagai Persiapan untuk Kehidupan Kekal. “Sebab siapa yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan sorak-sorai.” Arahkanlah hati, pikiran, dan sikap sesuai kehendak Allah. Hiduplah sebagai orang-orang pilihanNya. Deo Soli, Hanya Tuhan!

Fr. Diaz SMM & Fr. Charles SMM



Jumat, 09 November 2012

MEMBERI LEBIH BANYAK


Minggu Biasa XXXII, 11 November 2012
Bacaan: 1Raj. 17:10-16, Ibrani 9:24-28, Markus 12:38-44



            Dalam hidup menggereja ada macam-macam tugas. Dan setiap kita memiliki peran, bukan? Entah sebagai imam atau umat, mudika atau REKAT, seksi ini dan itu. Belum lagi di lingkungan tempat kita tinggal atau dalam kelompok kerasulan yang kita ikuti. Dengan peran-peran itu, kita pasti  rindu untuk semakin melayani dan memberi diri bagi Tuhan. Nah persis pada hari ini, Tuhan Yesus datang berbicara kepada kita mengenai pemberian diri ini.
            Ada dua kisah berbeda yang disajikan pada kita. Kisah pertama, Yesus memberi peringatan mengenai keburukan para ahli Taurat (ay. 38-40). Dalam kehidupan keagamaan orang Yahudi, para ahli Taurat memiliki peran penting. Mereka adalah guru agama dan penasihat hukum. Tapi tentang mereka ini, Yesus justru memberi peringatan: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat…” karena rupanya mereka tidak menjalankan perannya dengan sikap hati dan tindakan yang sesuai. Dengan jubah panjang pakaian kebesarannya, para ahli Taurat berjalan di Pasar dengan harapan mendapat salam hormat dari orang-orang. Begitu pula kalau ke rumah ibadat atau tempat pesta, mereka selalu mau duduk di depan karena menganggap diri sebagai orang penting, lebih tinggi dari yang lain. Mereka memang suka memberi bantuan hukum bagi para janda.  Tapi parahnya, mereka justru meminta imbalan padahal janda adalah kelompok orang lemah dan miskin. Dan lagi, mereka suka berdoa panjang-panjang dengan maksud pamer diri, supaya dipuji.
Inilah daftar keburukan para ahli Taurat yang dikritik Yesus. Yesus tidak mempermasalahkan peran mereka tapi sikap hati dan motivasi di baliknya. Para ahli Taurat ini dengan sengaja mencari penghormatan dan penghargaan untuk diri mereka sendiri. Bahkan menyalahgunakan peran untuk mendapat keuntungan pribadi. Makanya di akhir, Yesus berkata: “Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat." Sampai di sini, masing-masing kita bisa bertanya diri: Bagaimana sikap hati saya ketika melayani di Gereja? Apa motivasi saya mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan atau di kelompok kerasulan?
            Kisah kedua, Yesus berbicara mengenai persembahan uang. Ia melihat banyak orang memberi derma dalam jumlah banyak. Sementara satu orang janda memberi derma hanya dua peser. Satu peser itu mata uang terkecil di Palestina. Kalau sekarang sama nilainya dengan 100 rupiah. Dua peser berarti 200 rupiah. Nah kepada para murid Yesus berkata bahwa Janda ini memberi lebih banyak daripada semua orang karena janda itu memberi seluruh nafkahnya. Rupanya 200 rupiah tadi adalah jumlah seluruh pendapatan si janda dalam sehari. Tentu saja “memberi lebih banyak” tidak dalam arti jumlah uang karena 200 rupiah jumlahnya sangat kecil dibanding pemberian banyak orang. Si Janda “memberi lebih banyak” sebagai derma bagi Tuhan karena ia memberikan seluruh nafkahnya. Itu sama artinya memberi apa yang dibutuhkannnya untuk hidup pada hari itu. Dengan begitu, si Janda memasrahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan.
Dalam cerita ini, Yesus sebetulnya tidak mempermasalahkan berapa besar jumlah derma. Dia sedang mengingatkan soal sikap hati dan motivasi kita memberi persembahan. Orang yang memberi banyak bisa saja  mengganggap derma mereka paling berharga karena jumlahnya paling besar. Tapi dengan contoh janda miskin, Yesus menyatakan bahwa yang terpenting bukan berapa jumlahnya tapi bagaimana itu diberi. Berapapun jumlah derma kita, Yesus meminta sebuah persembahan diri yang total seperti halnya persembahan seluruh nafkah si Janda. Sebab persembahan diri yang total adalah ungkapan iman kita yang paling mendalam kepada Tuhan.
Para saudara terkasih, kita bisa melayani Tuhan dengan cara apapun. Dengan peran-peran kita atau dengan derma-derma kita. Satu hal yang Yesus minta pada kita, milikilah sikap hati yang mau menyerahkan seluruh diri kepada Tuhan. Inilah sikap iman kita. Kalau kita sungguh percaya pada Tuhan, kita hanya punya satu kerinduan: semakin menjadikan hidup kita persembahan bagi Kemuliaan Tuhan. Karena itu, kita tidak mencari penghormatan atau penghargaan. Kita semata-mata mau memberi lebih banyak bagi Tuhan, yakni memberi seluruh hidup kita sendiri. Selamat Memberi, Tuhan menyanggupkan kita. Deo Soli, Hanya Tuhan!

Fr. Charles, SMM


              

Jumat, 02 November 2012

PRIORITAS


Hari Minggu Biasa XXXI, 4 November 2012
Bacaan: Ulangan 6:2-6, Ibrani 7:23-28, Markus 12:28b-34


         Kita sedang hidup dengan dikelilingi oleh banyak sekali peraturan. Peraturan Pemerintah dan Gereja, Peraturan dalam Keluarga dan tempat kerja, juga peraturan-peraturan kecil yang kita buat untuk hidup kita sendiri. Peraturan itu erat kaitannya dengan nilai atau harapan yang mau kita perjuangkan dalam hidup kita, bukan? Ya, keberhasilan, kesejahteraan, kebahagiaan, kekayaan, prestasi dan sebagainya. Dengan semuanya itu, pernahkah kita bertanya, “Apa sih yang paling perlu saya kejar untuk hidup saya?” “Apa yang mau saya perjuangkan sebagai murid Kristus? Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus memberikan jawaban atas pertanyaan itu.  
            Dikisahkan oleh Penginjil Markus, seorang ahli Taurat datang pada Yesus dan bertanya: “Perintah manakah yang paling utama?”. Ahli Taurat ini sedang bingung rupanya. Soalnya dalam kitab Taurat Musa yang dipelajarinya, terdapat 613 perintah. Belum lagi ada sekian ratus perintah tambahan yang diturunkan dari 613 perintah pokok tadi. Si ahli Taurat tentu bingung: Peraturan mana nih yang paling utama dan penting di antara sekian banyak peraturan yang ada dalam Taurat? Terhadap pertanyaan itu Yesus memberi jawaban: kasihilah Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu (lihat ayat 30-31). Namun ada hal penting yang dikatakan Yesus sebelum menyebut kedua perintah utama itu, yakni: “Dengarlah… Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa” (ayat 29). Yesus tidak langsung menyampaikan tentang cinta kasih sebagai hukum terutama. Tapi Yesus terlebih dahulu mengajak untuk mengakui iman bahwa Tuhan kita itu Esa. Apa maksud Yesus di sini? Yesus hendak mengingatkan bahwa tanpa Iman akan Allah, kita tidak bisa berbuat kasih. Perbuatan cinta kasih mengisyaratkan adanya pengakuan Iman kepada Allah yang Satu. Pengakuan Iman ini datang dari pengalaman perjumpaan kita sendiri dengan Allah yang mengasihi. Yah, Allah yang lebih dahulu mengasihi kita. Sama seperti seorang anak yang bisa mengasihi Ayahnya setelah mengalami kasih Ayahnya. Maka perbuatan cinta kasih kita pertama-tama merupakan tanggapan kita akan tindakan Allah yang lebih dahulu mengasihi kita. Nah, apakah kita sudah mengalami kasih Allah dalam hidup kita?
            Baru setelah itu, sebagai tanggapan atas tindakan cinta Allah, Yesus meminta kita untuk juga mau melaksanakan kedua perintah utama, mencintai  Allah dan sesama. Inilah perintah paling pokok. Kata “cinta” mungkin sudah terlalu biasa kita dengar, sudah lazim kita pakai dan karena itu kerapkali kita bosan mendengarnya. Tapi Yesus toh tetap saja meminta kita berbuat cinta kasih. Sebab cinta kasih yang diajarkan Yesus memang berbeda kualitasnya dengan kata-kata cinta  yang kerap kita dengar atau pakai. Yesus menggunakan kata cinta (agapao) yang berarti mengutamakan, memilih lebih daripada…, memberikan diri sepenuhnya kepada… Dengan kata lain, bila Yesus memerintahkan supaya kita mencintai Tuhan, itu berarti “Kita mengutamakan Tuhan, memilih Tuhan lebih daripada hal-hal lain, juga memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan”, sebab kita sudah lebih dahulu dikasihi Tuhan dengan tanpa syarat. Kita memberi Tuhan tempat utama dalam hidup kita. Kata ‘cinta’ (agapao) yang dipakai Yesus ini, beda dengan kata cinta eros (erao) yang berarti cinta untuk kenikmatan belaka.
            Demikian pula dengan perintah utama kedua, mencintai sesama. “Mencintai sesama” berarti mengungkapkan cinta kita tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mengasihi kita saja. Lebih dari itu, cinta kita diarahkan untuk siapa saja. Tanpa pamrih, tanpa imbalan, tak peduli apakah mereka mengasihi kita atau tidak. Sebab dasar atau alasan perbuatan kasih kita pertama-tama adalah karena Allahlah yang sudah mengasihi kita terlebih dahulu. Betapa kita telah mengalami kasih Allah yang nyata dalam hidup kita sendiri dan karena itu, kita ingin membaginya juga kepada siapa saja.
            Perlu kita ingat di sini bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama bukan dua hal yang sama. Kalau menganggapnya sama, kita barangkali mudah mengatakan: “dengan mengasihi sesama, kita sudah mengasihi Allah.” Sama seperti orang-orang yang merasa sudah cukup dengan buat baik saja, tak harus beriman pada Tuhan. Tidak demikian maksudnya. Yesus menempatkan kedua perintah itu sama-sama sebagai perintah utama. Maka kita mengasihi Tuhan sekaligus juga menyatakan kasih itu dengan cinta pada sesama.
            Pesan Yesus kali ini kiranya jelas bagi kita bahwa nilai pokok atau tindakan utama yang menjadi prioritas hidup kita adalah terus mencintai Tuhan dan tak berhenti mencintai sesama. Perintah ini sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan hidup kita untuk mengejar keberhasilan, mencari uang dan harta, memperjuangkan gelar sarjana, mengusahakan kebahagiaan hidup, kesejahteraan keluarga dan sebagainya. Sebaliknya semua perjuangan kita mesti diresapi dan dihidupkan oleh cinta kasih. Sebab tak jarang, saking berfokusnya kita pada keberhasilan, kesejahteraan atau kesuksesan, kita mudah mengabaikan tanggung jawab untuk memberi tempat bagi Tuhan, memberi ruang untuk berbagi dengan sesama.
Cinta bukan kata, tapi tindakan. Cinta bukan tulisan, tapi api. Api yang membakar seluruh hidup kita untuk tak lelah berbuat kasih. Api yang telah lebih dahulu dinyalakan oleh kasih Allah yang selalu. Selamat menyatakan kasih. Deo Soli.   
             
Fr. Charles, SMM


Jumat, 19 Oktober 2012

PELAYAN


Minggu Biasa XXIX, 21 Oktober 2012
Bacaan: Yesaya 53:10-11, Ibrani 4:14-16, Markus 10:35-45


            Dua tahun lalu, saya berkarya sebagai Frater Pastoral di Paroki St. Theresia Mbata. Mbata itu salah satu Paroki di daerah pedalaman Flores. Umatnya umumnya petani sederhana. Sudah menjadi kebiasaan kalau ada pesta apapun, Romo dan Frater pasti diundang. Dan kebetulan pada suatu pesta pernikahan, saya sendiri yang pergi menghadiri pesta. Saya langsung merasa kikuk ketika sampai di tempat pesta, saya disambut dan dipersilahkan duduk di deretan paling depan. Duduk berdampingan dengan para sesepuh, kepala Desa dan orang-orang penting lainnya. Saya menjadi satu-satunya anak muda yang duduk di barisan orang terkemuka di desa itu. Dan tentu saja sangat dilayani secara khusus. Begitulah umat sederhana memandang Romo, Frater dan sejenisnya sebagai orang terkemuka yang pantas dihormati.
            Namun tidak demikian halnya dalam pandangan Yesus. Yesus punya ukuran lain soal siapa itu orang besar dan terkemuka yang pantas dihormati. Dalam Injil hari ini, didahului kisah Yakobus dan Yohanes muridNya yang meminta posisi atau kedudukan (ay.37), Yesus mengajarkan kita kebijaksanaan ini: “… barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (ay. 43-44). Singkatnya, Orang Besar adalah Pelayan dan Orang Terkemuka adalah Hamba. Apa gerangan yang dimaksudkan Yesus? ‘Kan sudah biasa kalau Orang Besar kayak Presiden harusnya memerintah dan bukan melayani. Atau Orang Terkemuka kayak Frater (cerita tadi) mestinya duduk saja dan ngapain bekerja. Apa sih yang mau disampaikan Yesus kepada kita kali ini?
            Pesan Yesus sudah cukup jelas: agar kita menjadi Pelayan bagi yang lain. Pesan ini tidak berkaitan dengan status atau profesi kita, tapi mengenai panggilan dan sikap hidup kita sebagai murid-murid (pengikut) Yesus. Dengan kata lain, setiap murid-murid Yesus harus bersedia menjadi Pelayan bagi saudara-saudaranya. Kenapa begitu? Ya, karena Yesus Sang Guru justru sudah lebih dahulu menjadi Pelayan: “karena Anak Manusia (Yesus) datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (bahkan) untuk memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang” (ay. 45). Kita tahu Yesus telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit, mengunjungi orang berdosa, dll. Sampai akhirnya, PUNCAK PELAYANAN YESUS adalah PEMBERIAN NYAWANYA sendiri untuk menebus dosa semua orang, termasuk kita. Yesus memberi diri sehabis-habisnya, total, tuntas hingga darah mengalir dan nafas terhenti di atas kayu salib. Apa ini belum cukup sebagai bukti bahwa SELURUH HIDUP YESUS tak lain adalah PELAYANAN dan PEMBERIAN DIRI?
Kebesaran dan Kehormatan kita yang sejati sesungguhnya bukan terletak pada jabatan, status, pekerjaan atau prestasi. Bagi Yesus, siapapun kita dan apapun pekerjaan kita, kita semua diundang untuk menjadi Pelayan. Seperti Yesus, melayani berarti memberikan diri, entah itu waktu, tenaga, pikiran, perhatian bahkan nyawa sekalipun untuk kebaikan orang-orang di sekitar kita. Tak perlu jauh-jauh atau susah-susah mencari, karena Suami atau Istri kita, Orang tua atau Anak-anak, Keluarga dan tetangga, sahabat dan musuh, atau siapapun di sekitar kita adalah orang-orang yang sedang menantikan pelayanan, perhatian, cinta, pengampunan, pertolongan dan sapaan kita.              
Di zaman teknologi sekarang, komitmen menjadi pelayan Tuhan tentu saja semakin tidak mudah. Mata kita mungkin lebih betah menatap layar internet. Tangan kita lebih senang memainkan tombol-tombol handphone. Telinga kita lebih nyaman mendengarkan lagu seorang diri. Kita barangkali lebih mudah menyendiri. Kalaupun berada bersama orang lain, barangkali mata dan telinga kita belum lebih tajam menangkap apa yang terjadi pada orang-orang di sekitar kita; kesusahan dan kebutuhan mereka. Dengan begitu hati kita belum cukup terbuka untuk menggerakkan tangan dalam melayani dan menolong. Dan tak jarang, hal ini justru kita lakukan terhadap orang-orang terdekat kita.   
Saudara, murid-murid Tuhan yang besar, terkemuka dan terhormat adalah mereka yang bersedia melayani dengan sungguh. Deo Soli: Hanya Tuhan.
                  Fr. Charles, SMM






Jumat, 05 Oktober 2012

SATU DAGING


Minggu Biasa XXVII, 7 Oktober 2012
Bacaan: Kej 2:18-24, Ibr 2:9-11, Mrk 10:2-12



Kalau kita rajin menonton tayangan infotaintment di Televisi, kita pasti sering menyimak berita-berita perceraian di antara para artis. Atau tak perlu menonton Televisi, di sekitar kita sudah ada banyak cerita tentang keluarga-keluarga yang pecah dan berpisah. Ada yang usia perkawinannya baru beberapa bulan sampai setahun, ada juga yang sudah belasan sampai puluhan tahun. Dan sayangnya, tak sedikit dari mereka adalah keluarga-keluarga Katolik.
Kita yang belum mengalaminya mungkin bertanya: bagaimana itu bisa terjadi? Bagi kita yang sudah dan sedang mengalaminya juga bertanya: mengapa hal ini bisa terjadi padaku? Atau pada orang tuaku? Atau pada anak-anakku? Dan akhirnya sebagai orang beriman, masing-masing kita patut bertanya juga, apakah Tuhan menghendaki atau merestui sebuah perceraian? Terhadap pertanyaan-pertanyaan dan pengalaman-pengalaman kita itu, hari ini Tuhan datang bersabda kepada kita bahwa sejak semula, DIAlah yang menghendaki agar setiap suami dan istri hidup bersatu.
Dalam bacaan Injil, Yesus dicobai oleh orang-orang Farisi dengan bertanya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?" Pertanyaan tersebut tidak dijawab langsung oleh Yesus. Kepada mereka Yesus balik bertanya: Apa perintah Musa kepada kamu? Jawab mereka: Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai. Tetapi terhadap jawaban itu Yesus mengecam bahwa “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Perceraian dengan surat cerai tidak akan pernah terjadi kalau orang-orang Yahudi tidak tegar hati atau mati-matian meminta cerai. Yesus menunjukkan bahwa perceraian justru terjadi karena kemauan keras dan paksaan kita sendiri untuk bercerai. Perceraian tidak harus terjadi bila kita mengikuti kehendak baik Tuhan dan bukan kemauan keras kita, “…sebab pada awal mula dunia, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan; karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia.” Dengan perkataan Yesus ini, jelaslah bagi kita bahwa Allah tidak pernah menghendaki perceraian, khususnya dalam relasi suami-isteri. Sebaliknya DIA menghendaki supaya suami dan isteri hidup bersatu. Sebab perkawinan tidak melulu tindakan manusiawi kita saja. Ketika perkawinan terjadi, Allahlah yang bertindak mempersatukan laki-laki dan perempuan. Dan setiap tindakan Allah adalah baik dan selalu mendatangkan kebaikan bagi kita yang menghidupinya dalam ketekunan dan kesetiaan.
Tindakan Allah yang menyatukan itu pula digemakan oleh St. Paulus kepada Jemaat di Efesus. St. Paulus berkata: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef.5:25). “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat” (Ef. 5:28-29).
Saudara seiman, kepada kita sabda Tuhan hari ini berpesan agar kita memelihara kesatuan dan keutuhan hidup berkeluarga. Bagi para muda-mudi yang belum berkeluarga, pesan Tuhan ini adalah undangan penuh rahmat agar nanti dapat memilih dan memaknai hidup berkeluarga sebagai kesempatan mengalami dan membagikan kasih Allah yang menyatukan. Bagi keluarga-keluarga yang masih tekun menghayati keutuhan hidup berumah-tangga, pesan Tuhan ini sangat menggembirakan, meneguhkan dan menyadarkan anda sekalian bahwa hidup berkeluarga itu begitu luhur karena dikehendaki sendiri oleh Allah. Dan bagi keluarga-keluarga yang telah dan sedang memikirkan untuk berpisah, pesan Tuhan hari ini merupakan kabar gembira bagi anda, Allah mengundang anda sekalian untuk memperjuangkan kembali keutuhan rumah tangga anda. Jangan kuatir sebab Allah membantu setiap kita yang mau tekun dan berjuang melaksanakan kehendakNya ini.
Kita memang turut prihatin dengan perceraian yang terjadi dalam keluarga-keluarga Katolik. Tentu itu semua terjadi dengan macam-macam persoalan. Tapi ada banyak keluarga Katolik yang sungguh menghidupi kesetiaan hidup bersama sebagai suami-istri. Mereka ini bukannya hidup sama-sekali tanpa persoalan. Tetapi mereka telah berani menempatkan keutuhan hidup berkeluarga dan kebahagiaan anak-anak sebagai nilai yang lebih tinggi dan terpenting daripada persoalan-persoalan itu sendiri. Persoalan kerapkali justru menjadi rahmat yang semakin mempererat rasa cinta dan kesetiaan satu dengan yang lain. Allah memang tidak pernah menjanjikan hidup berkeluarga yang mulus, lancar dan baik-baik saja. Tapi Allah selalu menyertai setiap keluarga dalam persoalan apapun. Sebab Allah tidak pernah menghendaki perceraian. Dia hanya menghendaki keutuhan dan kesatuan hidup suami dan isteri. Deo Soli.
Fr. Dias SMM & Fr. Charles SMM




Sabtu, 29 September 2012

JANGAN KAMU CEGAH DIA !


Minggu Biasa XXVI, 30 September 2012
Bacaan Injil: Markus  9:38-43, 45, 47-48


            Banyak dari kita yang tahu dan pernah mendengar bahwa dari antara umat kristiani sekalian (bukan Imam dan biarawan/wati), ada yang memiliki kemampuan untuk mengusir setan dan roh jahat. Mereka sanggup menyembuhkan yang kesurupan atau kerasukan roh halus. Ada yang langsung dengan menjamah dan mendoakan dalam nama Yesus, ada yang memberi air yang sudah terlebih dahulu didoakan dan sebagainya. Dan terbukti bahwa melalui doa dan jamahan tangan mereka, orang kerasukan atau kesurupan disembuhkan.
            Kita yang tidak memiliki karunia mengusir setan seperti ini tentu kerap bertanya, Kok mereka bisa? Kenapa saya tidak? Apakah saudara-saudara seiman itu memang menyembuhkan dengan kuasa Tuhan sendiri? Apakah mereka memang mendapat karunia kuasa dari Tuhan? Atau jangan-jangan mereka menggunakan ilmu-ilmu mereka sendiri? Kalau begitu bukankah sudah tugas kita untuk mencegat dan melarang mereka melakukan pekerjaan seperti itu? Apakah Tuhan Yesus sependapat dengan pikiran kita ini? Tidak! Yesus justru mencegah kita melakukannya.
            Yohanes Murid Yesus ternyata melihat seorang yang mengusir setan dengan nama Yesus. Tapi karena orang itu bukan anggota kelompok para murid Yesus, maka Yohanes mencegah orang itu (ayat 38). Mendengar hal itu, Yesus membentak Yohanes: “Jangan kamu cegah dia!, sebab tidak ada seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi namaKu, dapat seketika itu juga mengumpat Aku” (ayat 39). Ternyata, Yesus melarang keras tindakan Yohanes. Sebab setiap orang, siapapun yang melakukan perbuatan baik seperti menyembuhkan dan mengusir setan tapi DALAM NAMA Tuhan Yesus tidak mungkin melakukan penyesatan atau penghinaan terhadap nama Yesus. “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” Orang-orang yang melakukan perbuatan baik apapun DEMI atau DALAM nama YESUS, siapapun mereka, adalah juga anggota persekutuan murid-murid Yesus. Mereka diberkati oleh Tuhan. Bahkan mereka yang memberi kepada kita air hanya karena tahu bahwa kita adalah pengikut Kristus, juga mendapatkan upahnya sendiri dari Tuhan Yesus (ayat 41).
            DEMI atau DALAM NAMA YESUS bisa berarti DENGAN KUASA YESUS. Ini berarti, orang melakukan penyembuhan atau pengusiran setan bukan dengan kuasa manusiawinya sendiri tapi dengan mengandalkan kuasa Tuhan. Bukan pula demi kepentingan atau kemuliaan atau kehebatan atau ketenaran namanya, tapi semata-mata agar nama Tuhan semakin dimuliakan. Inilah pekerjaan baik yang dikehendaki dan diberkati oleh Tuhan yakni melakukan kebaikan dengan berkat dan kuasa Tuhan demi kemuliaan nama Tuhan.
            Kepada kita, Injil hari ini berpesan bahwa Tuhan Yesus memberkati siapapun yang melakukan perbuatan baik demi namaNya. Inilah kabar gembira bagi kita bahwa Tuhan Yesus mau mengerjakan perbuatan-perbuatan baik juga melalui kita. Setiap kita memiliki karunia untuk melakukan hal-hal baik dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang bisa menyembuhkan dan mengusir setan. Tapi ada pula yang bisa melayani dengan perbuatan-perbuatan cinta kasih. Ada pula yang dikaruniai kemampuan untuk mengajar. Namun semuanya itu dikerjakan dengan rasa percaya bahwa Tuhan Yesuslah yang bekerja melalui kita. Dialah yang memberi kuasa. Dialah yang memampukan kita. Itulah sebabnya ada umat awam yang bisa mengusir setan atau menyembuhkan orang kesurupan. Sementara tidak semua imam dan biarawan/wati bisa melakukan hal demikian. Sebab kepada kita telah diberikan karunia masing-masing. Tuhan Yesus menggunakan kita sesuai dengan apa yang dikehendakiNya sendiri.
Maka kalau kita tidak bisa mengusir setan, kita tidak boleh jatuh dalam iri hati dan kesesatan. Lalu mau menceritakan nama orang dan menyebarkan berita yang kurang baik. Yesus mengingatkan agar kaki (ayat 45) dan mata (ayat 47) kita tidak melakukan kesesatan dengan mudah menghakimi atau menilai. Kita perlu bersyukur bahwa kepada masing-masing kita juga dikaruniai rahmat untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang beraneka ragam. Muliakan Tuhan dengan berbuat baik dalam namaNya saja. Deo Soli, Hanya Tuhan. *** Fr. Charles, SMM