Jumat, 31 Mei 2013

Menjadi TABERNAKEL Hidup

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus
Bacaan Injil: Luk 9:11-17

Saudara-saudariku yang dikasihi Tuhan,
Salam jumpa kembali. Minggu ini, kita merayakan hari raya Tubuh dan Darah Kristus. Di dalam perayaan Ekaristilah, kita secara lebih nyata mengalami dan menyambut kehadiran tubuh dan darah Tuhan Yesus itu. Mari kita merenungkan makna Ekaristi ini kembali dalam kisah Injil, Yesus memberi makan kepada lima ribu orang.
Yesus memberi makan kepada banyak orang. Ada lima ribu orang laki-laki. Jumlah angka ini adalah lambang bahwa Yesus memberi makan kepada orang yang sangat banyak: seribu kali lipat dari jumlah roti yang tersedia. Betapa besar kuasa Yesus. Yesus mengambil roti itu, menengadah ke langit, mengucap berkat, memecah-mecahkan roti lalu menyuruh para murid memberikannya kepada orang banyak. Dan orang banyak yang hadir, makan sampai kenyang. Cara yang sama juga dilakukan Yesus dalam peristiwa perjamuan malam terakhir bersama para muridNya. Akan tetapi kita tahu, bahwa peristiwa-peristiwa ini sesungguhnya merupakan persiapan bagi pemberian diri Yesus yang paling agung. Tubuh dan darahNya sendiri akhirnya Dia berikan di atas kayu salib. Oleh salib, wafat dan kebangkitan Yesus itulah, kita sekalian beroleh jalan kepada keselamatan.
Ekaristi merupakan saat kita mengenangkan kembali misteri salib, wafat dan kebangkitan Yesus itu. Mengenang tidak sama dengan mengulang atau melakukan peristiwa itu berulang kali. Sebab kurban salib Yesus hanya terjadi satu kali untuk selama-lamanya. Mengenang berarti membuat peristiwa yang sama dari masa lalu, hadir lagi pada masa kini secara riil, nyata. Oleh karena itu, hosti dan anggur telah menjadi sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus sendiri. Roti dan anggur itu diubah saat Doa Konsekrasi, ketika Imam berkata: “Terimalah dan makanlah: Inilah Tubuh-Ku, yang diserahkan bagimu”. Dan untuk piala: “Terimalah dan minumlah: Inilah piala Darah-Ku, darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku”. (bdk. 1Kor 11:23-25). Karena itu, saat misa, kita sedang berjumpa dengan Tuhan Yesus sendiri. Kehadirannya begitu nyata. Yesus hadir dan mengundang kita untuk merayakan suatu kurban syukur: syukur atas pemberian diriNya yang agung dan cuma-cuma. Yesus yang memberikan diri itu, mau kita terima kehadiranNya dalam hati kita. Ia menjadi sumber kekuatan hidup kita. Itulah sebabnya, mengapa kita perlu menyempatkan diri merayakan misa dan menerima tubuh Kristus. Dengan mengikuti Ekaristi, bersama-sama sebagai satu keluarga, bersama umat lainnya, kita menyatukan pula di dalam kurban Yesus, kurban rohani kita sendiri. Kurban rohani itu apa? Tidak lain adalah doa-doa, ucapan syukur dan puji-pujian, karya-usaha dan penderitaan kita. Dengan demikian, kita mau supaya Yesus Kristus sungguh-sungguh terlibat, mengambil bagian secara penuh dalam kehidupan kita. Maka mari kita coba melihat diri: bagaimana partisipasi kita untuk merayakan Ekaristi selama ini? selalu atau jarang? Atau kalau sempat saja? Seberapa penting Ekaristi bagi kita? Penting karena itu adalah kewajiban orang Katolik? Atau sungguh karena kita membutuhkannya? Seberapa besar kerinduan kita untuk bertemu Tuhan Yesus dalam perayaan Ekaristi? Apa sebenarnya yang menghambat kita berjumpa dengan Yesus? Yesus memberikan diriNya dengan cuma-cuma. Masihkah kita berpikir dua kali untuk menyambut Dia
Saudara terkasih, kita baru saja mengakhiri bulan Mei, bulan Maria. Tentu itu tidak berarti kita segera melupakan Maria. Maria masih menjadi model iman kita. Sikap imannya dapat membantu kita untuk merayakan Ekaristi dengan lebih baik. Mari kita melihat hal ini. Pertama, Kita ingat dengan Fiat Maria, bukan? “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu”. Fiat ini merupakan jawaban “Ya” Maria untuk menerima Yesus Kristus dalam rahim dan kehidupannya. Dalam Ekaristi, “FIAT” Maria ini mirip dengan jawaban “AMIN” yang kita ucapkan saat menerima Tubuh Kristus. Maka sama seperti Maria, kita mau menerima Yesus Kristus yang sama juga dalam hati dan kehidupan kita. Saat Maria mengucapkan FIATnya, Maria tidak sepenuhnya mengerti tentang bagaimana Yesus, Putera Allah itu bisa hadir melalui rahimnya? Maria tidak mengerti. Demikian pula kita, mungkin kerap tidak mengerti bagaimana mungkin Tubuh Yesus nyata dalam hosti putih, kecil, bulat itu? Tetapi sama seperti Bunda Maria, meskipun tidak mengerti, kita mau tetap menerima Yesus Kristus itu dalam iman, dengan percaya. Dan sama seperti yang terjadi dalam hidup Maria, Tuhan Yesus memang sungguh-sungguh hadir. Dia tidak pernah mempermainkan kita.
Kedua, apa yang harus dilakukan setelah kita menerima Yesus? Setelah diberi kabar oleh malaikat Gabriel, Maria segera mengunjungi Elisabet saudarinya. Dan kita tahu, “ketika, mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang ada dalam rahim Elisabet” (Luk 1:41). Maria telah menjadi Tabernakel hidup. Seperti Maria, kitapun diundang menjadi Tabernakel-Tabernakel hidup. Kita harus membawa Kristus yang kita sambut dalam Ekaristi, ke dalam kehidupan kita sahari-hari, sehingga orang-orang yang berada di sekitar kita pun ikut mengalami kehadiran Kristus. Persatuan kita dengan Kristus tidak hanya berlangsung selama Perayaan Ekaristi. Setelah Perayaan Ekaristi kita diutus untuk membawa Kristus dalam kehidupan kita, dalam perjumpaan kita dengan sesama. Bunda Maria menjadi model bagi kita, karena dia merupakan tabernakel perdana dalam Gereja.
Saudara terkasih, Komuni membuat kita semakin bersatu dengan Yesus. Sebab Yesus sendiri menjanjikan: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum Darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam Dia” (Yoh 6:56). Persatuan ini pasti menguatkan kita, selalu. ***  
     
Fr. Charles Leta, SMM








Sabtu, 25 Mei 2013

SATU Yang MENGAGUMKAN


Hari Raya Tritunggal MahaKudus
Bacaan Injil: Yoh 16:12-15


Ada sepasang suami-isteri yang sudah lama hidup bersama. Karena baru saja bertengkar, keduanya tidak saling menegur. Pada malam hari sebelum tidur, sang suami menyodorkan sepotong kertas kepada istrinya. Kertas itu bertuliskan, "Bangunkan   aku  pukul tujuh pagi."  Ketika sang suami terbangun esok paginya, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Di tangannya terdapat secarik kertas bertuliskan, "Ayo segera bangun, sekarang sudah pukul tujuh pagi."
Pertengkaran dan perselisihan adalah hal yang manusiawi. Itu bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan misalnya pada suami-isteri yang sudah lama hidup bersama. Pertengkaran yang terus-menerus bisa menghalangi terbinanya persatuan. Rasa bersatu yakni, bahwa kita sepikir, sependapat dan seperasaan, entah antara suami dan isteri, dengan orang tua, kakak-adik, teman, maupun rekan kerja, tentu bukan hal yang mudah diwujudkan. Apalagi bila sudah berujung pada perpisahan atau konflik yang lama. Tetapi kita mau berusaha terus. Model dan Dasar bagi kita untuk hidup bersatu tidak lain ialah persatuan Allah Tritunggal.
Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah satu. Dalam bacaan Injil, Yesus membicarakan persatuan Allah Tritunggal yang sangat mengagumkan. Pertama, tentang hubungan Yesus dan Roh Kudus (ay. 14). Roh Kudus akan memberitahukan kepada kita, hanya apa yang diterimaNya dari Yesus. Roh Kudus hanya memimpin kita kepada kebenaran yang didengarNya dari Yesus. Maka kalau kita mau supaya hidup kita semakin sesuai dengan hidup Yesus, maka mintalah bantuan Roh Kudus. Sebab Roh Kudus tidak bisa berbuat lain selain membimbing kita menjadi seperti Yesus. Roh Kudus hanya memimpin kita kepada kebaikan seperti yang dikehendaki Yesus. Tidak mungkin yang lain. Kedua, tentang hubungan Yesus dan BapaNya (ay. 15). Apa yang menjadi milik Bapa adalah milik Yesus. Kuasa Yesus sama dengan kuasa Bapa. Dalam seluruh hidupNya, Yesuspun tidak berbuat lain selain melaksanakan kehendak Bapa. Jadi, Yesus menyampaikan apa yang dikehendaki Bapa. Dan Roh Kudus menyampaikan apa yang dikehendaki Yesus. Betapa tak terpisahkan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Apa yang disampaikan oleh Bapa, didengarkan juga oleh Roh Kudus dari Putera. Betapa mengagumkan persatuan Allah Tritunggal ini.
            Persatuan Allah Tritunggal merupakan misteri yang tak terselami. Kita pasti pernah mendengar satu kisah mengenai St. Augustinus. St. Augustinus adalah seorang terpelajar. Ia mahir dalam bidang filsafat dan teologi. Augustinus sedang berpikir keras untuk bagaimana memahami rahasia Allah Tritunggal. Ia tidak habis pikir bagaimana Allah bisa dikatakan “satu” padahal terdiri dari “tiga pribadi”. Suatu sore, Augustinus berjalan-jalan di pantai. Ia bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang membuat lubang di pasir. "Untuk apa lubang pasir itu, nak?, tanya Augustinus. "Lubang ini untuk menampung air laut. Aku akan memindahkan semua air laut itu ke dalam lubang ini!", jawab si anak kecil. "Ha.. ha.., bagaimana mungkin lubang kecil ini dapat menampung samudera yang luas itu?!", Augustinus tertawa sinis. Anak itu segera membalas dan berkata: “Engkau lebih bodoh lagi! Bagaimana mungkin otakmu yang kecil itu, dapat menampung Allah yang Maha Luas?”
            Kita semua percaya kepada Allah Tritunggal, SATU (hakikat) ALLAH, TIGA PRIBADI: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kita menyebutnya ketika membuat tanda salib, berdoa kemuliaan dan “Aku Percaya”. Persatuan Allah Tritunggal merupakan misteri yang tak terselami oleh kita manusia beriman. Persatuan Allah ini melampaui kemampuan akalbudi kita untuk memahami semuanya dengan tuntas. Mengapa? Karena kita tidak punya pengalaman tentang persatuan yang begitu luar biasa seperti yang terjadi di antara Bapa, Putera dan Roh Kudus. Karena tak ada satupun manusia yang pernah mengalami persatuan mengagumkan seperti itu, maka misteri ini tetap tak terpahami, tak terselami.
            Lalu apa artinya misteri persatuan Allah Tritunggal ini untuk kita yang percaya kepadaNya? Pertama-tama, kita makin sadar bahwa kita adalah ciptaan. Sebagai ciptaan, berhadapan dengan misteri Allah yang tak terselami itu, kita mau semakin tunduk dan menyembah Tuhan. Kita mau semakin rendah hati, mempercayakan hidup kita ke dalam tanganNya yang MahaKuasa. Kedua, kita mau belajar menghayati persatuan Allah Tritunggal itu dalam hidup kita sendiri. Meski harus jatuh-bangun. Jatuh itu pasti. Setiap manusia mengalaminya. Tetapi bangun lagi selalu merupakan pilihan. Pilihan untuk bangun terjadi tidak lain karena Allah menyanggupkan. Itulah rahmat bagi kita yang mau belajar dari Allah. Persatuan itu bukan soal tinggal bersama saja. Orang yang tinggal seatap-sekeluarga pun bisa jadi tidak saling cocok. Persatuan itu mengenai hidup. Kita bersatu dengan Allah kalau pikiran, sikap dan perbuatan kita semakin hari semakin nyatu dengan kehendakNya. Kita bersatu dengan sesama kalau kita belajar saling mengerti, menerima dan mendengarkan orang lain. Sekiranya kita mau terus berusaha, hidup kita akan semakin mengagumkan ***

Fr. Charles Leta, SMM





Jumat, 17 Mei 2013

ROH KUDUS BIKIN BEDA


Hari Raya Pentakosta
Bacaan Renungan: Kis 2:1-11


Ada seorang bapak yang sangat bersemangat. Matanya sedang berbinar. Wajahnya begitu cerah. Bapak ini baru saja sembuh dari sakit. Pagi itu, dia berbicara dengan berapi-api sekali, kepada semua teman kantor yang menyambutnya. Bapak ini berbicara tentang Tuhan. Dia percaya bahwa Tuhan telah menyembuhkannya dari sakit kanker. Bapak ini berani berbicara karena hatinya sudah dipenuhi Roh Kudus. Semua kita pasti pernah mengalami kebaikan Tuhan, seperti Bapak ini. Tetapi barangkali tidak semua kita berani membicarakan pengalaman itu. Mungkin kita malu atau takut mengatakannya kepada orang lain. Bahkan barangkali untuk menyebut nama “Tuhan Yesus” saja. Padahal kita percaya bahwa itu karya Tuhan. Hati kitapun sebetulnya dipenuhi kerinduan untuk berbagi. Apa yang sebaiknya kita lakukan? Beranilah berbicara tentang Tuhan Yesus, karena Roh Kudus menyanggupkan kita.
Roh Kudus turun dan memenuhi semua orang yang percaya. Siapakah orang yang percaya ini? Mereka adalah para murid Yesus. Para murid telah menyaksikan kebangkitan Yesus dan menjadi percaya kepadaNya. Mereka senantiasa berkumpul dan “bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama” di dalam rumah (Kis 1:14). Mereka menantikan Roh Kudus yang telah dijanjikan Yesus sebelum Ia terangkat ke surga (Kis 1:8-9). Pada saat mereka berkumpul itulah, Roh Kudus memenuhi setiap mereka. Roh Kudus turun dari langit dalam suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah. Kemudian tampaklah lidah-lidah api yang bertebaran dan hinggap pada setiap mereka. Dalam tanda-tanda itulah, Roh Kudus memenuhi setiap mereka.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menerima Roh Kudus? Sudah! Kita sudah menerima Roh Kudus. Kapan? Saat kita diberi Sakramen Pembaptisan dan Krisma. Caranya memang berbeda dengan para rasul. Tetapi ada satu prinsip yang tetap sama, bahwa Roh Kudus hanya diberikan kepada kita yang sudah percaya kepada Yesus. Lalu barangkali kita bertanya: kalau Roh Kudus sudah diberikan, mengapa kita masih memohonnya dalam novena pentakosta? Apakah itu berarti Roh Kudus sudah tidak ada lagi dalam diri kita dan karena itu, kita meminta Allah mengirimkannya untuk kedua atau kesekian kalinya? Roh Kudus tetap ada di dalam hati kita. Tetapi ketidaksetiaan-ketidaksetiaan yang kita lakukan, membuat Roh Kudus tidak bekerja lagi (secara efektif) dalam kehidupan kita. Kalau kita memohonkan kedatangan Roh Kudus dalam novena, itu berarti kita memohon bantuan Allah sendiri supaya Roh Kudus yang sudah ada dalam hati kita dapat berkarya kembali. Untuk apa? Supaya karunia-karunia Roh Kudus semakin nyata kita alami dalam kehidupan kita. Itulah sebabnya mengapa kita mesti berdoa memohon Roh Kudus, tidak hanya pada kesempatan novena saja. Kita mau berdoa terus-menerus, setiap hari, supaya Roh Kudus membantu kita tetap setia kepada Tuhan. Roh Kudus hanya memenuhi kita yang terus memintanya dengan percaya.  
Untuk apa Roh Kudus diberikan kepada kita? Supaya kita berkata-kata tentang Allah. Berkata-kata  tentang perbuatan baik yang telah dikerjakan Allah atas kehidupan kita. Inilah yang terjadi pada para murid ketika Roh Kudus memenuhi setiap mereka. Roh Kudus membuat perbedaan besar. Setelah Yesus naik ke surga, para murid hidup dalam ketakutan. Takut kalau-kalau mereka mengalami hal yang sama dengan Yesus. Dihukum mati, karena mereka toh adalah pengikut Yesus. Tetapi apa yang terjadi setelah mereka menerima Roh Kudus? Mereka justru berani berbicara tentang Allah. Mereka berbicara bahkan kepada orang-orang yang sama sekali belum mengenal Yesus. Inilah mukjizat besar yang dikerjakan Roh Kudus. Mukjizat yang bisa kita lihat saat ini. Banyak orang di belahan dunia ini telah percaya kepada Yesus Kristus, termasuk kita sekalian. Para murid, karena dibakar oleh api Roh Kudus, telah mewartakan Yesus. Banyak orang percaya karena pewartaan mereka. Mereka menjadi lidah Allah.
Demikian pula kita mesti bisa menjadi lidah Allah. Kita harus menjadi pewarta Allah. Apakah ini berarti kita harus seperti para murid, membuat banyak orang menjadi Katolik? Tidak. Bukan itu yang utama. Tetapi kita perlu menunjukkan bahwa Roh Kudus memang membuat kita berbeda. Beda dalam hal apa? Beda dalam bagaimana kita menghayati hidup kita. Kalau orang takut bicara tentang Yesus, kita justru berani bicara, mengakui iman kita tanpa malu. Kalau orang ramai-ramai menghalalkan ketidakjujuran, kita berani mengatakan kalau itu tidak benar. Kalau orang berpikir bahwa berdoa atau bahkan beragama itu sia-sia, kita mesti bisa bersaksi bahwa memiliki Tuhan Yesus adalah kebanggaan dan kebahagiaan kita. Kalau orang menganggap biasa perceraian atau perselingkuhan, kita berani menunjukkan kalau hubungan perkawinan itu sakral dan kita bisa berkomitmen seumur hidup. Dan masih banyak nilai-nilai kristiani lainnya yang bisa kita perjuangkan. Menjadi beda itu tidak mudah. Tetapi selama kita mau bekerja sama dengan Roh Kudus, kita pasti disanggupkan. Apa buktinya? Banyak dari antara kita telah berani memberikan kesaksian tentang karya Allah, tentang nilai-nilai baik yang diajarkan Yesus, bukan? Ada yang membagikan pengalaman rohaninya kepada suami atau isterinya, kepada anak-anak serta sanak saudaranya, kepada sesama umat di lingkungan ataupun paroki, bahkan kepada orang-orang beragama lain. Di tempat kerjanya, kita berani menunjukkan semangat kerja yang jujur dan tanpa kompromi. Sungguh Roh Kudus menjadikan hidup kita, bukan sekadar beda, tapi berkualitas. Sebab Roh Kudus diberikan supaya kita sanggup mewartakan Allah. Supaya hidup kita menjadi kesaksian dari ajaranNya.
Ah, sekiranya kita terus-menerus memohonkan karunia Roh Kudus itu kepada Allah. Sekiranya kita memintanya dengan percaya. Roh Kudus pasti memenuhi kita. Dialah yang membakar semangat kita untuk berani beda, berani berkualitas.***

Fr. Charles Leta, SMM  





           






Sabtu, 11 Mei 2013

SAKSI SATU KASIH


Hari Minggu Paskah VII, 12 Mei 2013
Bacaan Injil:  Yoh 17:20-26

           
            Saudara-saudariku yang dikasihi Tuhan,
Salam jumpa kembali. Berkat Tuhan menyertai saudara sekeluarga, memberkati setiap usaha dan harapan saudara. Kita memasuki pekan paskah ketujuh, pekan terakhir masa Paskah. Indah sekali bahwa di akhir masa paskah ini, Yesus berdoa untuk kita. Doa Yesus membuka lembaran baru hidup kita umatNya. Selama perayaan Paskah, kita telah mengenal betapa Bapa mengasihi kita sama seperti ia mengasihi Yesus. Yesus diberikan kepada kita sebagai anugerah kasihNya. Bukankah sudah sepantasnya, kita menanggapi kasih Bapa itu dengan hidup dalam persatuan kasih dengan Bapa? Itulah isi doa Yesus yang kita dengar hari ini.         
Yesus berdoa supaya kita menjadi satu sama seperti Dia dan BapaNya adalah satu. Apa artinya menjadi satu? Mengapa Yesus berdoa demikian? Yesus berdoa bagi kita karena Dia tahu bahwa persatuan bukan suatu hal yang mudah. Persatuan bukan sekadar tinggal atau berkumpul bersama saja. Persatuan yang dikehendaki Yesus adalah persatuan seperti yang terjadi antara Dia dan BapaNya. Bagaimana persatuan Yesus dan BapaNya itu? Persatuan Yesus dan BapaNya adalah persatuan kasih. Bapa mengasihi Yesus dan Yesus mengasihi Bapa. Persatuan kasih ini terungkap dalam firman dan pekerjaan Yesus. Selama hidupNya, Yesus hanya menyampaikan firman yang dikehendaki BapaNya. Yesus hanya mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki BapaNya. Inilah persatuan kasih Yesus dan BapaNya. Kalau Yesus berdoa supaya kita menjadi satu, itu berarti Yesus mau supaya kitapun memiliki persatuan yang hidup dengan Bapa. Kita hanya mau melaksanakan firman yang diajarkan Yesus. Kita hanya mau mengerjakan perbuatan yang dikerjakan Yesus. Dan kita tahu betapa ini sulit sekali. Kita lebih mudah mengikuti kehendak kita sendiri. Karena kita menganggap apa yang kita pikirkan dan perbuat itulah yang terbaik. Karena itu mendengarkan orang lain menjadi sangat susah. Apalagi untuk mengerti dan memahami situasi orang lain. Sesungguhnya akar dari keretakan hubungan apapun, termasuk hubungan kita dengan Tuhan, tidak lain karena kita kurang bersedia mendengarkan. Kalaupun kita sendiri memiliki hubungan yang baik-baik saja dengan sesama dan Tuhan, apakah kita cukup punya waktu mendoakan persatuan kasih bagi keluarga, sahabat tetangga, bahkan musuh kita yang mengalami persoalan di dalam hubungan mereka? Jika kita sadar betapa beratnya persatuan ini, kita tidak akan lupa mendoakannya.
Kalau kita menjadi satu, dunia akan percaya bahwa Bapa mengasihi kita. Dunia? Siapa yang dimaksud Yesus sebagai dunia? Dunia adalah orang-orang yang belum mengenal dan mengimani Allah sama seperti kita. Mereka ini akan percaya bahwa Allah yang kita imani adalah Allah kasih kalau kita, para pengikutNya ini, mau hidup dalam persatuan kasih. Mereka akan percaya bahwa Yesus Tuhan kita mengajarkan kasih, kalau kasih itu kita wujudkan dalam kehidupan kita para pengikutNya. Dengan kata lain, kita harus menjadi saksi kasih Allah yang nyata di tengah dunia, masyarakat, sekolah dan lingkungan pergaulan kita. Kita akan dikenal sebagai pengikut Kristus kalau kita menghayati persatuan kasih ini. Sanggupkah kita menjadi saksi persatuan kasih Allah ini? Bagaimana kita menjadi saksi kalau perpecahan dan permusuhan justru terjadi di antara kita sesama pengikut Kristus? Mari melihat dalam kehidupan kita sendiri, sudah berapa banyak keluarga Katolik yang berpisah? Sudah berapa sering permusuhan terjadi antar sesama dari satu lingkungan? Bukankah dengan kawan seimanpun kita tak segan berkonflik? Persatuan kasih mesti kita mulai di antara kita sesama pengikut Kristus. Hanya dengan begitu, kita menjadi saksi kasih Allah.
Saudaraku terkasih,  kita pasti mengenal Mahtma Gandhi. Pemimpin Spiritual India ini pernah berkata kepada umat kristiani: "Saya tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus Anda. Tapi saya tidak suka dengan orang Kristen Anda." "Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan di dalam Alkitab, seluruh India sudah menjadi Kristen hari ini." Mewujudkan persatuan kasih Kristus dan BapaNya dalam hidup sehari-hari memang tidak mudah, tetapi siapa yang tekun berusaha dialah saksi kasih Allah. Betapa orang akan percaya bahwa Kristus yang kita imani adalah Allah kasih. Ah, sekiranya kita bisa menjadi saksi satu kasih itu, seorang Mahatma Gandhi tidak akan pernah berbicara seperti itu.

Fr. Charles Leta, SMM

















Jumat, 03 Mei 2013

DAMAI BAGI PARA KEKASIH


Hari Minggu Paskah VI, 4 Mei 2013
Bacaan Injil:  Yoh 14:23-28

        
Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,
Ada seorang bapak yang merasa sangat gelisah. Wajahnya terlihat kuatir. Mau bekerja tidak tenang. Mau makanpun tidak berselera. Hatinya tidak damai. Sekian tahun menjadi seorang Katolik taat, hidupnya tidak baik-baik juga. Ia patah semangat. Tuhan belum memberikan penghasilan yang cukup seperti yang Ia harapkan. Kegelisahan Bapak ini juga mungkin dialami oleh banyak orang lain. Ketika cita-cita dan harapan hidup belum tercapai, orang gampang merasa bahwa beriman tidak membawa hasil apa-apa. Tuhan tidak peduli dengan kehidupannya. Kalau begitu, apa gunanya lagi hidup taat sesuai firman Tuhan? Dalam situasi seperti itu, apa yang sebaiknya dilakukan? Tetap mengasihi Yesus apapun situasinya.
Orang yang mengasihi Yesus akan menuruti firmanNya. Mengasihi. Kata yang sudah sangat sering kita dengar. Tetapi apa yang mau dikatakan Yesus kali ini tentang mengasihi Dia? Apa hubungan antara mengasihi Yesus dan menuruti firmanNya? Menuruti firman Yesus, itulah pernyataan kasih kita kepadaNya. Kita mau taat pada firman Yesus karena kita mengasihiNya. Mengasihi Yesus berarti mau berpegang pada firmanNya, mau mendasarkan hidup kita pada firmanNya dan mau melakukan apapun yang diperintahkanNya kepada kita. Kita membiarkan hati kita dikuasai dan dituntun oleh firman Yesus. Hati yang sepenuhnya taat pada kehendak Yesus. Ketaatan seperti ini bukan sebuah keterpaksaan. Ketaatan pada Yesus harus merupakan sebuah keputusan karena kasih. Kasih yang demikian bukan mengenai rasa cinta saja. Kasih kepada Yesus mengandung komitmen hati untuk memberikan diri. Seluruhnya, segenap hati, jiwa dan tenaga kita hanya untuk kehendakNya saja. Sebab mengasihi Yesus berarti kita sudah memilih Yesus sebagai satu yang terbaik bagi hidup kita. Karena itu, menuruti firmanNya adalah pekerjaan terbaik yang mau kita lakukan dalam seluruh hidup kita. Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, tanpa berhenti. Maka kita sekalian diundang untuk semakin taat pada firman Yesus. Mungkin kita sudah sangat akrab dengan Kitab Suci. Kita rajin mengikuti setiap kesempatan untuk merenungkannya bersama di lingkungan, mendalaminya melalui homili saat Ekaristi atau bahkan membacanya dengan tekun secara pribadi. Tetapi soalnya adalah apakah kita sudah cukup merelakan hati kita dituntun oleh firman Yesus itu? Bukankah kita lebih sering mengikuti kehendak kita sendiri karena tuntutan Yesus memang lebih berat rasanya. Atau barangkali kita justru lebih sering lupa pada firman Yesus. Kita tidak mengingatnya sama sekali. Setelah Misa misalnya, semuanya buyar. Karena sering lupa, kita lalu mudah melalaikan perintah-perintah Yesus dalam hidup setiap hari. Jika kita sungguh mengasihi Yesus, kita tidak mau lalai menaati firmanNya.
Sebagai balasan ketaatan kita kepada firmanNYA, Yesus memberikan damai sejahteraNya bagi kita. Tetapi damai sejahtera seperti apa yang diberikan Yesus? Pernyataan ini disampaikan Yesus di saat-saat terakhir Ia ada bersama para muridNya. Yesus akan pergi. Ia yang telah bangkit akan kembali kepada BapaNya. Secara fisik Yesus memang tidak ada lagi bersama para murid. Mereka tidak akan pernah melihat lagi Yesus sama seperti sebelumnya. Karena itulah Yesus meninggalkan damai sejahtera bagi para muridNya. Damai sejahtera ini tidak sama seperti yang diberikan oleh dunia kepada kita. Damai ini bukan pertama-tama soal keadaan di mana tidak terjadi pertengkaran, perselisihan, kegagalan, sakit dan persoalan hidup lainnya. Damai sejahtera ini mengenai keadaan batin kita. Hati-batin kita akan damai selama kita memiliki hubungan pribadi yang mesra dengan Yesus. Yesus memang pergi. Tetapi Dia mau kembali ke dalam hati kita yang mengasihiNya dengan sungguh. Yesus tinggal dalam hati kita. Yesuslah sumber damai kita yang sejati. Dia yang tinggal dalam hati kita akan meneguhkan kita, bahkan di saat-saat sulit hidup kita. Karena itu Yesus berkata “Jangan gelisah dan gentar hatimu!” Damai Yesus ini menyanggupkan kita bertahan dalam situasi sesulit apapun, membuat kita berani maju bahkan ketika situasi tidak mendukung kita. Yesus tidak menjanjikan bahwa hidup kita akan baik-baik saja. Persoalan dan kesulitan adalah bagian dari kehidupan kita. Kita tidak bisa menghindarinya. Tetapi Yesus menjanjikan bahwa damaiNya selalu ada bersama kita. Apapun keadaan kita, seberat apapun persoalan kita, Yesus selalu tinggal bersama kita selama kita mau membuka hati bagiNya.  Yesuslah yang menghibur kita. Dia menyanggupkan kita berjalan ke depan, walau hari-hari hidup kita penuh tantangan dan kesulitan. Sebab damai sejahtera yang sejati hanya kita temukan bila bersama Yesus.
            Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, banyak orang mudah gelisah karena persoalan hidupnya, tetapi siapa yang mau menuruti firman Yesus dengan sungguh akan mengalami damai sejahtera. Siapapun pasti mengalami persoalan, tapi hanya sedikit dari mereka yang bertahan. Tidak sedikit pula yang melarikan diri ke perbuatan lain yang justru semakin membahayakan hidup mereka. Yesus meminta kita mencari dia, melarikan diri ke dekapanNya. Dalam Yesus ada ketenangan hati. Selalu ada damai bagi kita para kekasihNya. Amin.

Fr. Charles Leta, SMM